Sabtu, 30 September 2017

TEORI CERPEN

Pengertian Cerpen
Cerpen adalah cerita pendek, jenis karya sastra yang memaparkan kisah ataupun cerita tentang manusia beserta seluk beluknya lewat tulisan pendek. Atau definisi cerpen yang lainnya yaitu merupakan karangan fiktif yang isinya sebagian kehidupan seseorang atau juga kehidupan yang diceritakan secara ringkas yang berfokus pada suatu tokoh sja. Maksud dari cerita pendek disini ialah ceritanya kurang dari 10.000 (sepuluh ribu) kata atau kurang dari 10 (sepuluh) halaman. Selain itu, cerpen hanya memberikan kesan tunggal yang demikian dan memusatkan diri pada satu tokoh dan satu situasi saja.

Ciri-Ciri Cerpen
1.   Jalan ceritanya lebih pendek dari novel
2.   Sebuah cerpen memiliki umlah kata yang tidak lebih dari 10.000 (10 ribu) kata
3.   Biasanya isi cerita cerpen berasal dari kehidupan sehari-hari
4.   Tidak menggambarkan semua kisah para tokohnya, hal ini karena dalam cerpen yang digambarkan hanyalah inti sarinya saja.
5.   Tokoh dalam cerpen digambarkan mengalami masalah atau suatu konflik hingga pada tahap penyelesainnya.
6.   Pemakaian kata yang sederhana serta ekonomis dan mudah dikenal pembaca.
7.   Kesan yang ditinggalkan dari cerpen tersebut sangat mendalam sehingga pembaca dapat ikut merasakan kisah dari cerita tersebut.
8.   Biasanya hanya 1 kejadian saja yang diceritakan.
9.   Memiliki alur cerita tunggal dan lurus.
10.   Penokohan pada cerpen sangatlah sederhana, tidak mendalam serta singkat
Struktur Cerpen


      Struktur cerpen
      Struktur teks cerpen dintaranya ada 6 (enam) bagian yaitu:
  • Abstrak – merupakan ringkasan ataupun inti dari cerita yang akan dikembangkan menjadi rangkaian-rangkaian peristiwa atau bisa juga gambaran awal dalam cerita. Abstrak bersifat opsional yang artinya sebuah teks cerpen boleh tidak memakai abstrak.
  • Orientasi – adalah yang berkaitan dengan waktu, suasana, maupun tempat yang berkaitan dengan cerpen tersebut.
  • Komplikasi – Ini berisi urutan kejadian-kejadian yang dihubungkan secara sebab dan akibat, pada struktur ini kamu bisa mendapatkan karakter ataupun watak dari tokoh cerita sebab kerumitan mulai bermunculan.
  • Evaluasi – Yaitu struktur konflik yang terjadi yang mengarah pada klimaks mulai mendapatkan penyelesainya dari konflik tersebut.
  • Resolusi – Pada struktur bagian ini si pengarang mengungkapkan solusi yang dialami tokoh atau pelaku.
  • Koda – Ini merupakan nilai ataupun pelajaran yang dapat diambil dari suatu teks ceriita oleh pembacan
      Ciri-ciri Prosa Baru :
a.                                                   Tertulis.
b.                                                   Masyarakat sentris”cerita diambil dari kehidupan masyarakat sekitar”.
c.                                                   Dipengaruhi pengarangnya.
d.                                                   Dipengaruhi sastra barat.
e.                                                   Bentuk ronam,cerpen,drama

Cara mengapresiasi karya sastra
Sebelum kita melakukan apresiasi kita harus memilih karya sastra seperti drama, film dll. Kesukaan ini akan melangkah pada upaya seorang untuk mengetahuai lebih dalam karya yang dipilih. Karya sastra dapat di gemari dan di sukai karya tersebut dapat memberi kesan tersendiri yang menimbulkan empati bagi penggemar. Proses penciptaan karya sastra meliputi :
a. Upaya mengexplorasi jiwa pengarang yang mewujudkan ke dalam bentuk bahasa yang akan di jumpai kepada orang lain.
b. Upaya menjadikan sastra media komunikasi antara pengarang dan peminta sastra.
c. Upaya menjadikan sastra sebagai alat penghibur dalam arti merupakan alat pemuas hati peminat sastra.
d. Upaya menjadikan isi sastra merupakan sau bentuk expresi yang mendalam dari pengarang terhadap unsur-unsur kehidupan.

Langkah-langkah mengapresiasi sastra secara umum yaitu:
1.   menginterprestasi atau melakukan penafsiran terhadap kerya sastra  berdasarkan sifat-sifat karya tersebut.
2.   Menganalisi atau mengurangi unsur-unsur karya sastra ter sebu, baik unsur intrinsik maupun ekstrinsik.
3.   Menikmati atau merasakan karya satra berdasarkat pemahaman untuk mendapatkan pernyataan.
4.   Mengevaluasi atau menila karya satra dalam rangka mengukur kualiatas karya tersebut.
5.   Memberikan penghargaan kepada karya satra berdasarkan tingkat kualitas

Apresiasi Prosa
Secara leksikal, Appreciation ‘ apresiasi ‘ mengacu pada pengertian pemahaman
dan pengenalan yang tepat, pertimbangan,penilaian, dan pernyataan yang memberikan penilaian. ( Hornby,1973 ). Apresiasi sastra ialah kegiatan menggauli karya sastra dengan sungguh – sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. ( Effendi,1973 ). Dengan kata lain apresiasi sastra adalah upaya memahami karya sastra, yaitu upaya bagaimanakah caranya untuk dapat mengerti sebuah karya sastra yang kita baca baik fiksi maupun puisi, mengerti maknanya, baik yang intensional maupun yang faktual, dan mengerti seluk beluk strukturnya. Pendek kata apresiasi sastra itu merupakan upaya merebut makna karya sastra sebagai tugas utama seorang pembaca.

Untuk dapat memahami struktur karya sastra dan dapat merebut makna dengan setepat – tepatnya,seorang pembaca perlu mengerti bagian – bagian atau elemen – elemen karya sastra. Karena, karya sastra merupakan sebuah struktur yang rumit. Sebagai sebuah struktur, karya sastra mengandung gagasan keseluruhan, gagasan tranformasional, dan gagasan kaidah yang mandiri. Oleh karena itu, untuk mengerti karya sastra diperlukan analisis terhadap bagian – bagian struktur tersebut. Dengan demikian, nyatalah bahwa apresiasi sastra merupakan satu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan kritik sastra. Bahkan, dapat dikatakan bahwa apresiasi sastra merupakan salah satu jenis kritik sastra terapan.
Kegiatan – kegiatan atau langkah – langkah yang dapat dilakukan untuk memahami karya sastra paling tidak meliputi 3 hal yaitu  : Interpretasi, Analisis atau Penguraian, dan Evaluasi atau Penilaian.

       Penafsiran
Penafsiran adalah upaya memahami karya sastra dengan memberikan tafsiran berdasarkan sifat – sifat karya sastra itu sendiri. Dalam hubungan ini, Abrams-1981 membedakan tafsiran menjadi dua hal, yakni dalam artinya yang sempit, penafsiran merupakan upaya untuk memperjelas arti bahasa dengan sarana analisis, parafrase dan komentar. Lazimnya penafsiran difokuskan pada kegelapan, ambiguitas, parafrase, dan komentar. Dalam arti luas, penafsiran atau menafsirkan ialah membuat jelas arti karya sastra yang bermediakan bahasa yaitu meliputi penjelasan aspek – aspek seperti jenis karya,unsur – unsur,struktur,tema dan efek – efeknya.
      
Analisis
Analisis merupakan penguraian karya sastra atas bagian – bagian atau norma –
normanya. Secara lebih khusus, analisis karya sastra dibedakan menjadi analisis fiksi dan anlisis puisi. Analisis fiksi meliputi analisis terhadap semua elemen pembangun fiksi itu, yang mencakup fakta cerita, sarana cerita, dan tema. Fakta cerita meliputi plot, tokoh, dan latar. Sarana cerita meliputi hal – hal yang dimanfaatkan oleh pengarang dalam memilih dan menata detil – detil cerita sehingga tercipta pola yang bermakna, seperti unsur judul,sudut pandang, gaya dan nada,dan sebagainya.

Penafsiran dan analisis memungkinkan pembaca untuk memberikan penilaian kepada karya sastra secara tepat  sesuai dengan hakikatnya. Hakikat karya sastra adalah karya imajinatif yang bermediakan bahasa dan mempunyai unsur estetik yang dominan.

       Penilaian
Penilaian adalah usaha menentukan kadar keberhasilan atau keindahan suatu karya sastra. Dengan adanya penilaian dimungkinkan untuk membuat pemilihan antar karya sastra yang baik dan yang jelek, yang berhasil dan yang gagl, yang bermutu tinggi,rendah, dan sedang. Jika penilaian dapat dilakukan sebaik – baiknya, penghargaan kepada sebuah karya sastrapun dapat dilakukan secara wajar dan sepantasnya. Untuk itu diperlukan suatu kriteria, yakni kriteria keindahan atau keberhasilab suatu karya sastra.

Contoh Apresiasi Prosa
BUNDA  (sinopsis)
Gio tinggal bersama ayah dan tante Marcia yang tidak disukainya. Gio tidak pernah menganggap tante Marcia itu ada, dan selama setahun lebih tinggal bersama  Gio tidak pernah memanggil tante Marcia dengan sebutan “Ibu atau Bunda”. Padahal tante Marcia sangat sayang, sabar, lemah lembut, dan selalu bersikap baik kepada Gio dan ayahnya. Tante Marcia tidak pernah membalas perilaku Gio tersebut, malah selalu memberikan senyuman manis untuk Gio.

Sampai pada akhirnya Gio kecelakaan dan pingsan akibat tidak berhati-hati dalam mengendarai sepeda motor. Tante Marcia dan Desty yang setia menunggui Gio. Setelah Gio siuman, Desty mencoba untuk menasehati dan memberi pengertian kepada Gio agar Gio segera sadar atas sikapnya selama ini terhadap tante Marcia dan bersedia meminta maaf. Setelah Desty mencoba berulang kali untuk meyakinkan Gio, akhirnya Gio sadar (menyadari sikap buruknya selama ini), dan bersedia meminta maaf, serta bersedia memanggil tante Marcia denga sebutan “Bunda”.



1.   TEMA
Merupakan sikap atau pandangan terhadap masalah. Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan menuangkan gagasannya. Tanpa gagasan pasti dia tidak bisa menulis cerita. Gagasan yang mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang disebut tema dan berupa pokok pembahasan.  Tema terdiri dari dua macam, yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah tema yang dominan dalam cerita, sedangkan tema minor adalah tema tambahan untuk melukiskan tema mayor. Tema mayor melekat pada tokoh utama, sedangkan tema minor melekat pada tokoh tambahan. Menurut Mursal Esten (1984:92) dalam melukiskan tema mayor suatu cerita ada beberapa cara yaitu melihat persoalan yang paling banyak membutuhkan waktu penceritaan, melihat persoalan yang paling banyak menimbulkan konflik.
a.   Tema Mayor pada cerpen “Bunda”, yaitu: kesabaran seorang ibu tiri untuk menghadapi sikap buruk anak tirinya. Hal ini dapatdilihat pada cuplikan cerpen berikut:
Tante Marcia yang berada disamping ayah terlihat cemas, seakan-akan beliau tidak ingin terjadi pertengkaran antar aku dan ayah hanya karena sikapku terhadapnya
Kemudian pada cuplikan lain ditegaskan kembali, yaitu:
Selama ini pintu hatiku tak pernah terbuka untuk tante Marcia, orang yang selalu berusaha memperhatikanku walaupun aku tak pernah menghiraukannya. Sampai-sampai tak pernah kurasakan kebaikan darinya, padahal di setiap waktu beliau selalu mempersembahkan semua kebaikan tulusnya kepadaku.
Persoalannya terletak pada tante Marcia (ibu tiri) yang dinikahi oleh duda beranak satu, anaknya tersebut bernama Gio, setahun yang lalu Gio ditinggal wafat oleh ibu kandungnya, Gio merasa kehilangan dan sedih, dia tidak suka dengan tante Marcia, padahal tante Marcia adalah sosok wanita yang baik dan penyayang, tidak tahu mengapa Gio sangat membencinya. Terlihat pada penyataan Gio berikut:
Sebenarnya tante Marcia sangat baik kepadaku dan ayahku. Tapi tidak tahu setan apa yang merasuki hatiku sehingga aku begitu membencinya.
Maka dari itu Gio selalu bersikap buruk kepada tante Marcia, berkata kasar, tidak memperhatikan pada saat diajak berbicara, tetapi tante Marcia tetap bersabar dan memberikan senyum khasnya kepada Gio. Terlihat pada dialog yang dilakukan oleh Gio dan tante Marcia berikut:
Tante Marcia tersenyum manis. “Buku kamu sudah tante letakkan di rak bukumu,” ujarnya lirih
“Kalau pulang jangan larut malam,” tutur tante Marcia
“Suka-suka aku mau pulang kapan.”
b.   Tema minor pada cerpen “Bunda”, yaitu: keegoisan. Terlihat pada sikap-sikap Gio terhadap tante Marcia, salah satunya sebagai berikut:
Setahun setelah ibuku meninggal, ayah menikah untuk yang kedua kalinya, yaitu dengan tante Marcia. Dan selama lebih dari dua belas bulan ini aku tinggal bersama ibu tiri yang tidak aku suka. Aku tidak pernah memanggilnya dengan sebutan ibu, padahal ayah sudah melatihku untuk memanggil tante Marcia dengan panggilan yang indah itu.
Gio yang tidak suka dengan tante Marcia membuat semua kebaikan tante Marcia tidak terlihat oleh Gio, Gio selalu bersikap buruk, tetapi tante Marcia tidak pernah benci ataupun berusaha untuk membalas perilaku Gio tersebut. Tante Marcia tetap perhatian kepada Gio. Terlihat pada penuturan Desty berikut:
“Gio, tante Marcia orang yang sangat baik,” jawab Desty. Tadi tante Marcia pingsan ketika melihat kamu dibawa ke rumah sakit dengan berlumuran darah. Setelah siuman nggak henti-hentinya tante Marcia menangisi kamu Gio,” sambungnya sambil tangannya masih menggenggam tanganku

2.   Penokohan
Tokoh Aku (Gio)
Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini, yaitu sebagai tokoh antagonis yang diperankan oleh Gio. Dari Gio kita bisa membaca kisah seorang ibu tiri yang selalu sabar menghadapi sikap dan perilaku anak tiri (Gio =>> tokoh aku). Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang cuek, pemarah, penuh rasa benci, tetapi sebenarnya juga baik hati dan penyayang.
“Sampai kapan pun aku nggak akan memanggil tante dengan sebutan “Ibu.”  Dengan suara yang cukup nyaring aku berkata kepada tante Marcia. Sampai-sampai beliau terkejut.
Sebenarnya tante Marcia sangat baik kepadaku dan ayahku. Tapi tidak tahu setan apa yang merasuki hatiku sehingga aku begitu membencinya.
“Suka-suka aku mau pulang kapan.”
Ketika Desty ke rumahku dulu, dia aku kenalkan dengan tante Marcia. Walaupun aku tidak menyukai tante Marcia tapi aku juga ingin tante Marcia tahu bahwa aku memiliki bidadari cantik yang mampu meleburkan hatiku dan mampu mengusir kepenatanku jika bersamanya.
Namun sayang, ibu, orang yang paling aku sayang di dunia ini telah pergi meninggalkanku dan ayah.
“Pasti,” jawabku mantab. Kali ini aku lebih bersemangat saat mendengar kata ibu dari mulut Desty.

Gio benci dan selalu berkata kasar saat berbicara dengan tante Marcia. Karena Gio tidak pernah menginginkan tante Marcia, Gio sangat menyayangi ibu kandungnya.

Tante Marcia
Tokoh ini merupakan tokoh protagonis, tokoh yang dibenci oleh tokoh aku (Gio), yaitu tante Marcia, beliau adalah ibu tiri dari Gio. Padahal sebenarnya Tante Marcia adalah sosok wanita yang baik hati, sabar, murah senyum, penyayang, dan perhatian. Seperti dalam penuturan-penuturannya saat menghadapi Gio berikut:
Tante Marcia tersenyum manis. “Buku kamu sudah tante letakkan di rak bukumu,” ujarnya lirih
“Kalau pulang jangan larut malam,” tutur tante Marcia
“Hari ini ayah ada tugas ke luar kota, mungkin akan pulang besok lusa dan selama ayah pergi kamu adalah tanggung jawab tante.”
“Gio, dari tadi siang kamu belum makan kan? Tante belikan makanan dulu ya,” ujar tante Marcia
“Ayo makan Gio,” ujar tante Marcia sambil membuka sebungkus nasi yang baru dibelinya. “Tante suapin ya,” tawarnya
Tante Marcia tetap bersiakp baik terhadap Gio, padahal Gio suka bersikap buruk kepadanya.

Tokoh Ayah
Tokoh ini mempunyai watak baik hati, bijaksana, dan suka bekerja keras. Dalam cerpen ini, ayah berperan sebagai tokoh figuran. Dapat dilihat dari dialog ayah dengan Gio dan penuturan dari tokoh lain berikut:
“Gio.” Hadang ayah. Ternyata ayah telah mendengar semua kalimat yang aku lontarkan kepada tante Marcia
“Ayo, minta maaf sama ibu,” perintah ayah
Hari ini ayah dinas ke luar kota dan akan pulang besok lusa, itu artinya selama tiga hari di rumah hanya ada aku dan tante Marcia. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kepenatanku.

Ayah Gio adalah orang yang bijaksana, setelah beliau tahu bahwa Gio telah bersikap kurang sopan terhadap tante Marcia, ayah menyuruh Gio untuk meminta maaf. Ayah juga seseorang yang rajin bekerja, buktinya, beliau sampai berhari-hari ke luar kota untuk melaksanakan tugas dinasnya.

Tokoh Desty
Tokoh ini merupakan tokoh yang juga berpengaruh dalam menyadarkan sikap Gio. Desty adalah pacar Gio yang mempunyai watak baik hati, dewasa, dan penuh perhatian terhadap sikap Gio yang kurang baik kepada tante Marcia. Desty berperan sebagai tokoh tritagonis. Dapat dilihat dari penuturannya dan penuturan dari tokoh lain berikut:
...bahwa aku memiliki bidadari cantik yang mampu meleburkan hatiku dan mampu mengusir kepenatanku jika bersamanya...
Desty tertawa kecil sambil mengacak-ngacak rambutku. “Kamu lucu Gio, tante Marcia adalah orang yang baik tapi kenapa kamu mengatakan beliau menyebalkan. Kamu nggak boleh begitu Gio. Selama tante Marcia nggak pernah memukulmu, kamu nggak boleh benci dengannya,” tutur Desty dengan suaranya yang mirip Shiren Sungkar
“Apa yang kamu rasakan sekarang?” tanya Desty sambil meraih tanganku. Digenggamnya tangan kiriku itu dalam telapak tangan mungilnya.

Gio sangat mengagumi sosok Desty yaitu dengan mengumpamakan Desty sebagai “bidadari” dan saat Desty memberi perhatian serta pengertian kepada Gio agar Gio sadar akan sikapnya terhadap tante Marcia.

3.   Perwatakan
Pada cerpen “Bunda” ini, tokoh utama, yaitu Gio mempunyai watak bulat, awalnya Gio adalah orang yang baik karena sebenarnya Gio memang orang yang baik tetapi setelah ibu kandungnya meninggal dan ayahnya menikah lagi dengan seorang wanita yang bernama tante Marcia, Gio berubah menjadi orang yang cuek dan tidak bisa menghargai orang tua. Seperti yang digambarkan oleh pengarang melalui penuturan dan isi hati Gio berikut:
Sikap buruk Gio:
“Sampai kapan pun aku nggak akan memanggil tante dengan sebutan “Ibu.”  Dengan suara yang cukup nyaring aku berkata kepada tante Marcia. Sampai-sampai beliau terkejut.
“Suka-suka aku mau pulang kapan.”
“Tante, lihat bukuku yang bersampul ungu nggak?,” tanyaku pada tante Marcia saat tiba di ruang keluarga tersebut. Aku mengobrak-abrik majalah yang telah dibreskan tante Marcia
Gio berubah menjadi baik:
Begitu berarti kalimat-kalimat Desty bagiku. Selama ini pintu hatiku tak pernah terbuka untuk tante Marcia, orang yang selalu berusaha memperhatikanku walaupun aku tak pernah menghiraukannya. Sampai-sampai tak pernah kurasakan kebaikan darinya, padahal di setiap waktu beliau selalu mempersembahkan semua kebaikan tulusnya kepadaku.
Air mata tante Marcia menetes lagi. Beliau sangat terharu. Seraya beliau mendekapku ke dalam pelukan hangatnya. Selama ini takku rasakan pelukan hangat dari seorang ibu. Rindu rasanya dengan kasih sayang dari seorang ibu. Sekaranglah aku dapat merasakannya kembali.
“Mulai sekarang aku akan memanggil tante Marcia dengan sebutan Bunda,” kataku dengan senyuman bahagia
Gio bersikap buruk kepada tante Marcia kerena Gio tidak suka dengan tante Marcia (ibu tiri), Gio masih sangat sayang kepada ibu kandungnya yang sudah meninggal itu tetapi seiring berjalanya waktu Gio yang semula jahat, tidak bisa menghargai tante Marcia, kini telah berubah menjadi orang yang baik, menyadari sikap buruknya terhadap tante Marcia.

4.   Plot (alur) cerita
Plot cerita berbeda dengan jalan cerita. Plot merupakan jalinan atau rangkaian, atau untaian peristiwa sebab-akibat yang terdapat dalam jalan cerita. Sedangkan jalan cerita mengacu pada pengertian arah gerak cerita dari a-z. Plot secara garis besar terbagi menjadi tiga bagian, yakni awal (perkenalan), tengah (konflik), dan akhir (penyelesaian). Jika kamu  membuat cerpen, sebaiknya menggunakan tiga bagian tersebut agar tulisanmu menjadi hidup. Ketiga hal ini merupakan hal utama yang selalu dihayati dalam membuat cerpen. Selain itu, sebuah rangkaian peristiwa dapat terjalin berdasar atas urutan waktu, urutan kejadian, atau hubungan sebab-akibat.

Tahapan Plot
a.   Situation (exposition)
Pengarang memperkenalkan atau melukiskan situasi awal cerita. Pada bagian awal atau eksposisi dalam cerpen ini berupa tante Marcia yang setiap harinya selalu membersihkan kamar Gio, sosok wanita yang pengertian dan lemah lembut.
Aku merebahkan badanku yang kekar di tempat tidurku yang semenjak kedatangan seseorang pengganti ibuku kamarku berubah rapi dan nyaman sepanjang hari. Sebenarnya aku bukan tipe cowok yang rajin merapikan kamar, tapi tante Marcialah yang setiap pagi merapikan kamarku, melipat selimutku, membereskan buku-buku atau komik yang aku baca setiap akan tidur.
b.   Generating circumtances
Awal munculnya konflik, peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak. Pada bagian ini konflik awal muncul pada saat tante Marcia yang sedang sibuk membersihkan majalah yang berserakan di meja yang berada di depan rak televisi. Dan Gio berusaha untuk mencari bukunya sambil kebingungan.
“Tante, lihat bukuku yang bersampul ungu nggak?,” tanyaku pada tante Marcia saat tiba di ruang keluarga tersebut. Aku mengobrak-abrik majalah yang telah dibreskan tante Marcia

Tante Marcia merasa aneh dengan panggilan yang ditujukan Gio kepadanya, karena sudah setahun lebih beliau menjadi ibu tirinya Gio dan tinggal bersama Gio tapi masih saja dipanggil dengan sebutan “tante”. Gio memang tidak suka dengan tante Marcia, maka dari itu Gio tidak pernah memanggil tante Marcia dengan sebutan “ibu”. Bisa dilihat dari penuturan Gio sendiri terhadap tamte Marcia.
Setahun setelah ibuku meninggal, ayah menikah untuk yang kedua kalinya, yaitu dengan tante Marcia. Dan selama lebih dari dua belas bulan ini aku tinggal bersama ibu tiri yang tidak aku suka. Aku tidak pernah memanggilnya dengan sebutan ibu, padahal ayah sudah melatihku untuk memanggil tante Marcia dengan panggilan yang indah itu.
“Sampai kapan pun aku nggak akan memanggil tante dengan sebutan “Ibu.” Dengan suara yang cukup nyaring aku berkata kepada tante Marcia. Sampai-sampai beliau terkejut.
c.   Rising action
Konflik mulai bergerak menanjak atau memuncak. Selisih pendapat atau masalah muncul semua. Pada bagian ini ditunjukkan oleh tante Marcia yang setiap saat selalu memperhatikan Gio, tante Marcia berusaha untuk memperlakukan Gio seperti anak kandung sendiri, tetapi Gio tidak suka, dan membentak-bentak tante Marcia.
“Enggak. Aku bukan anak TK lagi. Tante nggak usah sok baik sama aku,” bentakku saat tante Marcia menyodorkan selembar uang warna hijau bergambar Oto Iskandar Di Nata. Aku berlalu tanpa menghiraukan uang itu

Tanpa disadari, ayah mendengar pembicaraan Gio dan tante Marcia, ayah langsung menyikapi perilaku Gio yang kurang sopan terhadap tante Marcia. Ayah menyuruh Gio untuk meminta maaf kepada tante Marcia, Gio bersedia meminta maaf tapi dengan perasaan terpaksa.
“Gio.” Hadang ayah. Ternyata ayah telah mendengar semua kalimat yang aku lontarkan kepada tante Marcia
“Ayo, minta maaf sama ibu,” perintah ayah
Dengan sedikit terpaksa aku menjabat tangan tante Marcia. Senyum manisnya menunjukkan bahwa beliau telah memaafkanku.
d.   Climax
Peristiwa atau konflik yang mencapai puncak, proses penyelesaian. Pada bagian ini Desty (pacar Gio) membantu memberi pengertian kepada Gio bahwa sikapnya selama ini sudah membutakan hatinya, sehingga kebaikan tante Marcia tidak pernah diakui dan dirasakannya, Desty berupaya menyadarkan Gio dengan kalimat-kalimat perenungan seperti berikut:
“Gio, tante Marcia orang yang sangat baik,” jawab Desty. Tadi tante Marcia pingsan ketika melihat kamu dibawa ke rumah sakit dengan berlumuran darah. Setelah siuman nggak henti-hentinya tante Marcia menangisi kamu Gio,” sambungnya sambil tangannya masih menggenggam tanganku
Gio tetap keras kepala, dia masih belum bisa menerima perkataannya Desty, tapi Desty terus berusaha.
“Tapi tante Marcia bukan ibuku Des. Dia nggak melahirkan aku.”
“Tapi Gio, bagaimanapun juga kamu harus bisa menerimanya sebagai ibu kamu.” Tak henti-hentinya Desty menyanjung tante Marcia
 “Sudah saatnya kamu bisa menerimanya,” ujar Desty
Denouement
Tahapan penyelesaian persoalan cerita, yang pada akhirnya menemukaan akhir cerita yang mengesankan. Pada bagian ini tokoh aku yang berperan sebagai Gio sudah mulai menyadari kesalahannya selama ini, dia mulai mengerti dengan apa yang diucapkan Desty ketika itu. Dapat dilihat pada isi hati dan penuturan Gio, serta sikap tokoh lain berikut ini:
Begitu berarti kalimat-kalimat Desty bagiku. Selama ini pintu hatiku tak pernah terbuka untuk tante Marcia, orang yang selalu berusaha memperhatikanku walaupun aku tak pernah menghiraukannya. Sampai-sampai tak pernah kurasakan kebaikan darinya, padahal di setiap waktu beliau selalu mempersembahkan semua kebaikan tulusnya kepadaku.
Air mata tante Marcia menetes lagi. Beliau sangat terharu. Seraya beliau mendekapku ke dalam pelukan hangatnya. Selama ini takku rasakan pelukan hangat dari seorang ibu. Rindu rasanya dengan kasih sayang dari seorang ibu. Sekaranglah aku dapat merasakannya kembali.
“Mulai sekarang aku akan memanggil tante Marcia dengan sebutan Bunda,” kataku dengan senyuman bahagia.

Gio sadar, dia berubah sayang dan baik kepada tante Marcia, serta bersedia memanggil tante Marcia dengan sebutan “Bunda”. Tante Marcia dan Desty pun tersenyum bahagia.

Cerpen “Bunda” ini memiliki alur mundur, terlihat dari Gio yang mengungkit-ungkit masa lalunya, yaitu tentang ibu kandungnya yang sudah meninggal setahun lalu.
Setahun setelah ibuku meninggal, ayah menikah untuk yang kedua kalinya, yaitu dengan tante Marcia. Dan selama lebih dari dua belas bulan ini aku tinggal bersama ibu tiri yang tidak aku suka. Aku tidak pernah memanggilnya dengan sebutan ibu, padahal ayah sudah melatihku untuk memanggil tante Marcia dengan panggilan yang indah itu.
Aku sulit sekali memejamkan mata. Bayanganku tertuju pada saat sebelum ibuku dipanggil oleh Sang Illahi. Ibuku sangat memanjakanku, maklum aku adalah anak semata wayang. Semua keinginanku beliau berusaha menurutinya. Namun sayang, ibu, orang yang paling aku sayang di dunia ini telah pergi meninggalkanku dan ayah.

5.   Setting atau latar cerita
 Latar atau tempat kejadian cerita sering pula disebut latar cerita. Latar merupakan sarana yang utama dalam sebuah cerpen karena dari latarlah, muncul tokoh dan penokohannya, lalu dari tokoh muncullah konflik. Akhirnya, dari konflik ini muncullah alur cerita. Pemahaman latar melalui beberapa informasi mengenai banyak tempat, lalu menghayatinya, dan mengungkapkannya kembali  demi kepentingan cerita sangatlah penting. Oleh karena itu, seorang penulis cerpen tak akan dapat menulis cerita jika di dalam imanjinasinya tak ada gambaran latar cerita, baik itu yang bersifat geografis, budaya, maupun latar yang sangat abstrak sekalipun. Latar biasanya meliputi tiga jenis, yaitu tempat, waktu, dan suasana. Latar tempat menunjukkan di mana, latar waktu menunjukkan kapan, dan latar suasana menunjukkan bagaimana.

6.   Latar tempat
Tempat atau daerah terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita. Sangat mungkin latar tempat sebuah teks prosa terdapat di dalam ruangan dan tidak menutup kemungkinan latar tempat terjadi di ruang lingkungan, jalanan atau di sebuah kota (Stanton,2007: 39). Latar tempat yang terdapat dalam cerpen “Bunda”, yaitu:

Rumah Gio ( Ruang keluarga)
Di ruang keluarga sayup-sayup ku dengar suara televisi, sepertinya tante Marcia belum tidur, beliau masih menikmati acara televisi.
Pukul setengah dua aku tiba di rumah. Ku parkirkan Ninjaku di garasi rumah yang tempatnya bersebelahan dengan ruang keluarga. Di ruang keluarga nampaknya tante Marcia sedang sibuk membaca tabloit yang telah menjadi langganannya.
Gio mengalami beberapa konflik dengan tante Marcia saat di ruang keluarga.
Rumah sakit
Aku membuka mataku pelan-pelan. Kulihat sekelilingku bewarna putih. Dinding ruangan tempat aku berbaring berwarna putih, bantal, seprei, bahkan selimut yang aku kenakanpun berwarna putih. Bau menyengat obat membaur disetiap sudut ruangan yang tidak begitu lebar itu.
“Kamu di rumah sakit, Gio,” ujar tante Marcia

Setelah Gio mengalami kecelakaan, Gio dibawa ke rumah sakit dan saat Gio mulai sadar atas sikapnya, serta mengalami konflik dengan Desty juga berada di rumah  sakit.
 Latar waktu
Waktu terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita. Latar waktu bisa berupa detik, menit, jam, jari, minggu, bulan, tahun, dan seterusnya. Tetapi juga sangat mungkin pengarang tidak menentukan secara persis tahun, tanggal atau hari terjadinya peristiwa, namun hanya menyebutkan saat malam.(Stanton,2007: 43). Latar waktu yang terdapat dalam cerpen “Bunda”, yaitu:
Malam hari
“Kalau pulang jangan larut malam,” tutur tante Marcia
Sampai di rumah jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat tiga puluh menit, namun sepertinya ayah belum pulang. Di ruang keluarga sayup-sayup kudengar suara televisi, sepertinya tante Marcia belum tidur, beliau masih menikmati acara televisi. Aku sulit sekali memejamkan mata.
Malam ini aku melajukan Ninjaku di jalanan yang panjang bersama dengan kepenatan yang menyesaki hatiku.

Pada cerpen “Bunda” mengandung latar waktu malam hari yang ditunjukkan pada penuturaan tante Marcia dan isi hati Gio yang mengatakan sedang berada di malam hari.

Latar Alat
benda-benda yang digunakan tokoh dalam sebuah cerita dan berhubungan dengan suatu lingkungan kehidupan tertentu. (Stanton,2007:47). Ada beberapa alat yang mendukung dalam cerpen “Bunda” tersebut, yaitu selimut, buku  pelajaran, komik, tabloit, sepeda motor Ninja, jumper, dan kunci sepeda motor.  Dapat dilihat dalam cuplikan cerpen berikut:
Tapi tante Marcialah yang setiap pagi merapikan kamarku, melipat selimutku, membereskan buku-buku atau komik yang aku baca setiap akan tidur.
“Mau kemana Gio?,” tanya tante Marcia ketika melihatku memakai jumper dan berdandan rapi sambil membawa kunci sepeda motor ninjaku
Di ruang keluarga nampaknya tante Marcia sedang sibuk membaca tabloit yang telah menjadi langganannya.

7.    Konflik
Pertentangan atau ketegangan di dalam cerita rekaan atau drama. Konflik dibagi atas tiga jenis, yaitu:

Konflik psikis atau mental
merupakan konflik yang terjadi di dalam diri seseorang atau isi hati seseorang. Konflik ini dialami oleh tokoh ketika dia menghadapi alternatif-alternatif dan ia harus memilihnya salah satu atau membuat keputusan. Pada cerpen “Bunda” dapat dilihat pada tokoh Gio yang berusaha mencari jalan keluar untuk mengatasi kepenatannya berikut:
Akhir-akhir ini ayah terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sehingga harus pulang larut malam. Aku bosan di rumah, apalagi di rumah hanya ada aku dan tante Marcia. Aku ingin mencari hiburan di luar rumah.
Aku terdiam. Kucerna semua kalimat dari Desty.
Begitu berarti kalimat-kalimat Desty bagiku. Selama ini pintu hatiku tak pernah terbuka untuk tante Marcia, orang yang selalu berusaha memperhatikanku walaupun aku tak pernah menghiraukannya. Sampai-sampai tak pernah kurasakan kebaikan darinya, padahal di setiap waktu beliau selalu mempersembahkan semua kebaikan tulusnya kepadaku.

Penggalan cerpen di atas adalah bagian dari konflik psikis yang dialami oleh Gio saat hatinya merasa penat, sehingga Gio berusaha untuk mencari jalan keluar dengan cara mencari hiburan di luar rumah. Dan pada saat Gio mulai mencerna kata-kata Desty, bahwa tante Marcia sebenarnya adalah sosok ibu tiri yang baik.


Konflik Sosial
merupakan konflik yang terjadi antara seseorang dengan tokoh-tokoh yang lain, seseorang dengan kelompok lain, seseorang dengan kelompok lain, atau konflik yang terjadi diantara tokoh-tokoh. Konflik ini dapat dilihat pada tokoh Gio yang sedang berdialog dengan tante Marcia, Ayah, dan Desty.
“Sampai kapan pun aku nggak akan memanggil tante dengan sebutan “Ibu.” Dengan suara yang cukup nyaring aku berkata kepada tante Marcia. Sampai-sampai beliau terkejut
“Gio.” Hadang ayah. Ternyata ayah telah mendengar semua kalimat yang aku lontarkan kepada tante Marcia
“Ayo, minta maaf sama ibu,” perintah ayah
Dengan sedikit terpaksa aku menjabat tangan tante Marcia. Senyum manisnya menunjukkan bahwa beliau telah memaafkanku.
“Gio, tante Marcia orang yang sangat baik,” jawab Desty. Tadi tante Marcia pingsan ketika melihat kamu dibawa ke rumah sakit dengan berlumuran darah. Setelah siuman nggak henti-hentinya tante Marcia menangisi kamu Gio,” sambungnya sambil tangannya masih menggenggam tanganku
“Apa urusannya denganku?,” tanyaku sewot

Gio menbentak tante Marcia sambil mengancam tidak akan pernah memanggil tante Marcia “Ibu”. Gio secara terpaksa menjabat tangan tante Marcia karena disuruh oleh ayah. Gio keras kepala, tetap mempertahankan rasa bencinya terhadap tante Marcia saat diberi pengertian oleh Desty.

Konflik Fisikal
Merupakan konflik yang terjadi ketika tokoh berusaha mengatasi rintangan-rintangan yang ditemui dalam melaksanakan kemauannya. Misalnya pada saat tokoh berhadapan dengan alam. Dapat dilihat saat Gio mengendarai sepeda motor di jalan raya dan mengalami kecelakaan.
“Ciiiiitt...” Suara rem motorku terdengar cukup keras menggesek aspal. Jalanan licin itu membuat motorku terpelanting jatuh. Aku tak dapat mengendalikannya
Ketika tiba di rumah Desty aku memakirkan motorku di halaman rumahnya yang luas. Banyak bunga anggrek di halaman rumahnya, mungkin ibunya suka menanam anggrek. Setelah itu aku mengetuk pintu sambil mengucapkan salam.

Saat Gio berada di jalan raya yang licin dan saat berada di halaman rumah Desty yang banyak ditanami bunga anggrek.

8.   Amanat
Amanat merupakan pesan yang hendak disampaikan pengarang dalam cerpennya. Umumnya seorang pengarang pasti menyampaikan amanat dalam karyanya. Oleh karena itu, amanat harus dicari oleh pembaca. Pembaca harus telliti  agar dapat menangkap apa yang tersirat di balik sebuah cerpen. Selain itu, biasanya setiap pembaca dapat berbeda-beda dalam menangkapatau menafsirkan  amanat pada sebuah cerpen.
Jadi cerpen “Bunda” mengandung amanat:
1. Janganlah durhaka pada orang tua, walaupun orang tua tersebut bukan orang tua kandungmu!. Terlihat pada penuturan Gio terhadap tante Marcia berikut:
“Sampai kapan pun aku nggak akan memanggil tante dengan sebutan “Ibu.” Dengan suara yang cukup nyaring aku berkata kepada tante Marcia. Sampai-sampai beliau terkejut
Gio berkata kasar kepada tante Marcia yang selalu berbuat baik kepada Gio, karena Gio tidak menyukai tante Marcia
2. Hormatilah orang yang lebih tua, dan sayangilah sesama!
3. Janganlah lama-lama terpuruk oleh kesedihan masa lalu, karena memikirkan masa depan itu lebih penting!, terlihat dalam isi hati Gio berikut:
Aku sulit sekali memejamkan mata. Bayanganku tertuju pada saat sebelum ibuku dipanggil oleh Sang Illahi. Ibuku sangat memanjakanku, maklum aku adalah anak semata wayang. Semua keinginanku beliau berusaha menurutinya...........................Namun sayang, ibu, orang yang paling aku sayang di dunia ini telah pergi meninggalkanku dan ayah.
Terlihat sekali bahwa Gio sangat merasa terpukul dan sedih pada isi hatinya tersebut dan melampiaskannya kepada orang lain atau tidak bisa menerima tante Marcia. Pintu hati Gio tertutup oleh kesedihan masa lalu yang akhirnya menyebabkan kebencian.

Perbedaan Antara Cerpen dan Novel
      Sebelum dibicarakan elemen – elemen yang membangun fiksi secara struktural, ada beberapa hal yang berkaitan dengan pembedaan jenis prosa fiksi, yaitu cerita pendek dan novel. Ditinjau dari segi ‘panjangnya’ cerpen relatif lebih pendek dari novel. Walaupun didapatkan pula cerpen yang panjang dan novel yang pendek. Secara lebih spesifik, istilah cerpen biasanya diterapkan pada fiksi yang panjangnya antara seribu sampai lima ribu kata. Sedangakn novel umumnya berisi empatpuluh lima ribu kata atau lebih. Karya fiksi yang berkisar antara limabelas ribu sampai empatpuluh lima ribu kata bisanya disebut sebagai ‘ novela’.
      Pertimbangan dari segi panjang cerita tersebut pada dasarnya terlampau bersifat tekhnis dan mekanis, tetapi beberapa kualitas penting kedua jenis fiksi tersebut memang berkaitan erat dengan panjang pendeknya.

       Sebuah cerpen bukanlah sebuah novel yang dipendekkan dan juga bukan bagian darti novel yang belum ditul;iskan. Sebuah cerpen biasanya memiliki plot yang diarahkan pada insiden atau peristiwa yang tunggal. Di samping itu, tokoh dalam cerpen jarang dikembangkan karena pengembangan membutuhkan waktu, karena tokoh dalam cerpen biasanya langsung ditunjukkan karakternya. Artinya, hanya ditentukan tahapan tertentu perkembangan karakter tokohnya. Karakter dalam cerpen lebih merupakan revelation ‘ penunjukkan’ daripada development ‘ perkembangan ‘. Selanjutnya dimensiwaktu dalam cerpen cenderung terbatas,walaupun dijumpai pula cerpen – cerpen yang menunjukkan dimensi waktu yang relatif luas.

       Ringkasnya, cerpen menunjukkan kualitas yang bersifat compression ‘ pendataan ‘,concentration ‘ pemusatan ‘ dan intensity ‘ pendalaman, yang kesemuanya berkaitan dengan panjang cerita dan kualitas struktural yang  diisyaratkan oleh panjang cerita itu.