Minggu, 26 April 2020

Pentigraf

PENTIGRAF
Kayaknya sama aja. Bedanya penulisannya 3 paragraf dan langsung ke inti.
KODE BAHASA, KODE SASTRA, DAN KODE BUDAYA
Pakar sastra A. Teeuw menjelaskan bahwa untuk mengerti atau menafsirkan teks sastra seorang pembaca harus memahami 3 kode yaitu kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya.
1. Kode bahasa berarti sistem bahasa yang dipakai oleh seorang penulis. Jika ia memakai bahasa Jawa pembaca harus mengerti bahasa Jawa, jika memakai bahasa Inggris pembaca harus tahu bahasa Inggris dan sebagainya.
2. Kode sastra. Bagaimanapun sastra memiliki kekhasan ekspresi. Sastra tidak linear tetapi seringkali malah berputar atau melingkar. Bahasa dalam sastra bersifat deotomatisasi yang berdampak pada defamiliarisasi. Oleh karena itu menulis cerpen misalnya tidak mungkin penulis hanya sekadar menyampaikan informasi, namun ia akan bercerita dengan pengaluran yang bisa jadi tidak lazim dipandang dari sudut bahasa sehari-hari. 
3. Kode budaya. Membaca sastra berarti membaca budaya atau tradisi tempat tokoh-tokoh itu beraktivitas. Membaca novel-novel Oka Rusmini tanpa dilandasi pengetahuan yang cukup tentang budaya Bali pembaca tentu akan mengalami kesulitan. Membaca novel-novel Ahmad Tohari tanpa dilandasi pengetahuan tentang budaya atau tradisi ronggeng pembaca tentu akan menghadapi kerumitan.

Nah, penulisan karya sastra pun juga secara tak langsung akan dituntun oleh kode-kode tersebut. Demikian pula pembacaannya.

Contoh:

MALAM ABU-ABU
pentigraf Tengsoe Tjahjono

Yae Hun setengah berlari memasuki lift yang nyaris tertutup. Jam 11 malam Coex akan segera memadamkan lampunya. Betapa kagetnya dalam lift ia melihat dirinya yang lain, yang juga tampak kelihatan panik memandangnya. Semula ia berpikir itu bayangannya di kaca besar yang menutupi seluruh dinding. Syal, long-coat, kaos tangan, hingga sepatu boat yang dipakai hampir sulit dibedakan.

“Kamu terkejut?!” mereka berucap nyaris bersamaan. “Aku tahun lalu menjalani operasi plastik total di Gyalumhan Plastic Surgery Gangnam. Akhirnya aku menjadi seperti ini,” bisik gadis itu. Yae Hun terperangah, tahun lalu pun ia pergi ke klinik operasi plastik tersebut. “Kita tampaknya memiliki ayah kedua yang sama,” gerutu Yae Hun sambil bergegas keluar lift. Kawasan Samseong diguyur salju tipis, malam pun abu-abu. Ia rapatkan syal di leher.

Yae Hun berbelok menuju stasiun subway line 2. Untung masih ada kereta. Kereta terakhir. Segera ia melompat ke gerbong 8. Astaga ia menatap dirinya duduk di semua bangku panjang. Dirinya ada di mana-mana. Rambutnya, hidungnya, bibirnya, dagunya, duh, juga pakaian yang dikenakan. Yae Hun sungguh-sungguh panik. Siapa diriku sebenarnya, tanyanya. Yae Hun! Oh, ternyata aku hanya sebuah nama. Sekadar nama.

Surabaya 31052017

Saya memakai pentigraf yang saya tulis karena mas Herman Joseph Pius Maryanto menanyakan tentang memahami teks ini walaupun sebenarnya sungguh tak patut saya menjelaskan tulisan saya sendiri. Namun, tak apa demi belajar bersama.

Kode bahasa rasanya tak perlu dijelaskan. Pentigraf ini justru berangkat dari budaya yang saya amati sendiri di Korea. Jika saya naik kereta maka akan saya temukan gadis-gadis berwajah sama. Mungkin dari 10 gadis, 8 gadis berwajah sama. Rata-rata mereka melakukan oplas di distrik Gangnam. Di Korea sampai muncul istilah gadis-gadis Gangnam atau gadis-gadis berbapak dua. Dari fakta budaya seperti itulah imajinasi saya tumbuh. Saya hanya membayangkan bagaimana batin mereka tentang diri sendiri atau tentang identitasnya.

Nah, supaya cerita itu hidup saya memilih latar di Coex, sebuah mall besar di distrik Samseong dekat Gangnam yang dilalui kereta subway line 2. Sungguh, pengetahuan mengenai kode budaya sangatlah penting. Sering saya meminta pertolongan mBah Google jika harus menafsirkan sebuah puisi dengan kata-kata yang tidak saya pahami atau latar yang asing supaya saya tahu konteks budayanya.

Salam menafsir.

Tengsoe Tjahjono
TENTANG PENTIGRAF METROPOP

Secara mudah pentigraf metropop adalah pentigraf yang mengangkat persoalan metropop. Lha, metropop itu apa?

Metropop dapat diartikan sebagai drama masyarakat kota atau drama masyarakat urban. Masyarakat kota atau urban itu seperti apa? Kondisi tertentu masyarakat kota itulah yang akan melahirkan drama kehidupan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia urban mempunyai dua makna, yakni, orang desa yang pindah ke kota, dan arti kedua adalah segala sesuatu yang berhubungan atau bersifat kekotaan. Gaya hidup masyarakat kota atau urban itu sebagai berikut.

1. Terbuka
Mereka terbuka terhadap budaya baru yang datang, cara berpikirnya pun tidak sempit dan kolot.

2.  Individualis
Mereka berorientasi pragmatis. Aktivitas diukur dari keuntungan yang diperoleh. Mereka sangat sibuk dengan hidupnya sendiri.

3. Hedonis
Mereka  lebih mengejar materi dan bergaya hedonis agar selalu terlihat modern dan kekinian. Mereka terjebak pada budaya ingin tampil walaupun dengan modal pas-pasan agar diterima oleh kelompoknya.

4. Melek Internet
Kedekatan mereka dengan internet membuat dunia mereka tak terbatas, dan gaya hidupnya pun berkiblat ke kota-kota dunia.

5. Kafe
Kaum urban sangat suka kongkow di mall, kafe, restoran, dan tempat-tempat lainnya instagramable.

6. Tren
Kaum urban selalu tergoda mengikuti gaya hidup yang sedang tren. Jika traveling sedang tren mereka akan traveling, jika senam sedang tren mereka akan senam, dan sebagainya.

7. Semakin longgar
Aturan atau tata hidup bersama semakin longgar, rasa keimanan pun acapkali semakin terkikis dan luntur.

8. Rasional
Karena arus informasi yang mudah didapat, pengetahuan dari negeri asing diperoleh dengan gampang, membuat masyarakat kota lebih rasional, dan mengabaikan perasaan atau naluri.

Problem sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan psikologis muncul dalam kondisi masyarakat seperti itu. Bagi orang Indonesia menjadi individualistis ternyata tak mudah karena ketika berangkat dari desa mereka sudah terbiasa hidup dalam tradisi guyub. Menjadi hedonis juga memerlukan dana besar, muncullah problem ekonomi dan kepercayaan diri dalam kasus ini. Mengikuti tren sering kali justru menjebak orang dalam kehidupan yang tanpa arah. Itulah drama masyarakat urban. Penulis dapat menjadikannya persoalan-persoalan itu sebagai inspirasi.

Pada umumnya ciri fiksi metropop
1. Tema:  Problema masyarakat kota atau urban
2. Tokoh: Pribadi-pribadi yang hidup sebagai masyarakat kota atau urban, kaum muda atau kaum pekerja muda
3. Latar: Kota dengan segala pernak-perniknya, gaya hidup perkotaan
4. Bahasa: Sederhana, bahasa keseharian sesuai dengan konteks perkotaan.

Semoga penjelasan sederhana ini dapat memotivasi kita untuk menulis pentigraf metropop.

Salam Tiga Jari: Pentigraf!

Tengsoe Tjahjono
Berapa panjang pentigraf yang ideal? Sekitar maksimal 210 kata.

Tengsoe Tjahjono


Tengsoe Tjahjono
FORMULA PENTIGRAF

Jika ingin menulis cerpen tiga paragraf, beginilah pengalaman saya.
1. Fokus pada persoalan yang dihadapi seorang tokoh atau tema yang diangkat.
2. Elemen narasi yang berupa tokoh, alur, dan latar dihadirkan secara bersama-sama dalam satu jalinan yang utuh.
3. Kurangi dialog. Ubah dialog ke dalam teks deskripsi atau narasi.
4. Usahakan ada kejutan pada paragraf ke-3, hal yang tak terduga, yang bisa menimbulkan suspense atau ketegangan.
5. Panjang paragraf hendaknya dalam ukuran wajar. Sekurang-kurangnya 1 kalimat, namun jangan lebih dari 10 kalimat. Walaupun hal ini bukan harga mati. Sesungguhnya, panjang paragraf bergantung pada ketuntasan topik.

JANJI
Dedeh Supantini

Lelaki itu membuka kancing bajunya berurutan, dari bawah ke atas. Masih seperti dulu. Hanya saja kali ini ia melakukannya dengan gerakan sangat lambat. Mungkin karena sebagian rambutnya telah memutih, dan tatapannya tidak setajam dulu. Namun ketika ia memandangku, aku menghindar, tidak siap menjawab permintaan maaf yang terlukis pada sinar matanya. Maaf adalah kata yang mudah diungkapkan bila ia sedang terdesak. Kini aku memilih diam. Sepuluh tahun tidak berjumpa dengannya membuatku lupa, sampai tahap mana sudah kumaafkan dia, dan aku tak mau memikirkannya.

“Lis,” bisiknya lirih. Suara itu pernah mengisi hari-hariku sepenuhnya, namun sekaligus membuat hidupku porak-poranda. Suara yang kini terdengar memohon, membuat hatiku bergetar.

Kubantu ia menyibakkan kemejanya, dan tampaklah perutnya yang tegang, penuh memar kebiruan. Siapa yang melakukannya? Dengan berbisik ia sebutkan anak tirinya. Aku sudah melihat hasil USG yang dilaporkan dokter jaga tadi, tampaknya terdapat luka dalam, dan harus segera dioperasi. Rasanya perih ketika kukatakan aku harus berbicara dengan keluarganya. Aku menelan ludah, membendung air mataku. Terbayang olehku wajah perempuan yang telah merebutnya dari anak-anakku, dariku. Dan ia menangis, ketika aku berbisik bahwa aku akan ada di sisinya sampai ia bangun dari operasi dan sembuh. Aku berjanji, sebagai dokter bedahnya.

Pentigraf Janji ini merupakan contoh pentigraf ideal. Paragraf pertama terdiri atas 7 kalimat, paragraf kedua hanya 3 kalimat, sedangkan paragraf ketiga terdiri atas 9 kalimat. Paragraf-paragrafnya tidak terlalu panjang. Paragraf singkat seperti itu membuat pentigraf terkesan padat dan bernas.

Persoalan pun hanya berfokus pada internal-conflict yang dialami tokoh sentral, dalam hal ini aku-sang-pencerita. ‘Aku’ sebagai dokter bedah harus menyembuhkan mantan suaminya yang direbut oleh perempuan lain, dan luka dalam karena dihajar oleh anak tirinya. Persoalan rumit itu begitu efektif disajikan dalam format tiga paragraf.

Elemen narasi pun disajikan secara utuh dan padu. Melalui alur yang tersaji pembaca dapat mengetahui bagaimana karakter lelaki dan aku-sang-pencerita tersebut. Lelaki itu secara tak bertanggung jawab meninggalkan istri dan anak-anaknya. Sedangkan, aku-sang-pencerita sudah berkali-kali memaafkan kelakuan lelaki tersebut.

Kejutan pun terjadi pada bagian paragraf ketiga: Kubantu ia menyibakkan kemejanya, dan tampaklah perutnya yang tegang, penuh memar kebiruan. Siapa yang melakukannya? Dengan berbisik ia sebutkan anak tirinya. Aku sudah melihat hasil USG yang dilaporkan dokter jaga tadi, tampaknya terdapat luka dalam, dan harus segera dioperasi. Rasanya perih ketika kukatakan aku harus berbicara dengan keluarganya. Aku menelan ludah, membendung air mataku. Terbayang olehku wajah perempuan yang telah merebutnya dari anak-anakku, dariku. Dan ia menangis, ketika aku berbisik bahwa aku akan ada di sisinya sampai ia bangun dari operasi dan sembuh. Aku berjanji, sebagai dokter bedahnya. Pada bagian ini pembaca pun dibuat tercengang tentang bagaimana lelaki itu telah mengkhianati sang istri, dan bagaimana sang istri dalam kemarahannya berusaha tenang dan memaaafkan. Terdapat pesan moral yang sangat bagus dalam pentigraf ini: Keberanian memaafkan harus dipupuk dalam diri setiap pembaca.

Pentigraf memang pendek, namun ia merupakan teks sastra yang serius. Pentigrafis bukan sekadar menata rangkaian peristiwa, namun bagaimana menyatukan alur, tokoh, tema, dan pesan secara padu dan utuh. Dengan membaca pentigraf diharapkan pembaca memiliki pengalaman indah dan kaya sebagai nutrisi jiwanya.

PARADOKS SEBUAH KOTA
Tengsoe Tjahjono

Cerpen tiga paragraf atau pentigraf walaupun memiliki ruang yag amat terbatas, bukan berarti terbatas pula dalam menjelejahi dunia. Justru karena hanya 3 paragraf, para pentigrafis ditantang untuk melakukan seleksi terhadap persoalan yang hadir, membahasakannya dengan efektif, dan pada akhirnya lahirlah karya narasi yang padat dan menginspirasi pembaca.
Kitab Pentigraf 3 “Laron-Laron Kota” ini berisi pentigraf yang ditulis oleh 53 pentigrafis. Kitab pentigraf kali ini mengangkat persoalan manusia dan kota, kegerlapan lampu-lampu kota dan dunia batin manusia kota berkelindan luar biasa. Tema-tema yang diangkat menyangkut carut marut pikiran, saling silang pergaulan, dan duka cita masyarakat sebagai bagian dari kota yang kejam dan sekaligus menarik untuk didekati. Kota selalu menyajikan paradoks-paradoks.
Mari kita simak pentigraf karya Atik Herawati berikut ini.
GADIS DI SISI STASIUN
Atik Herawati
“Selepas sekolah cepat pulang, bantu ibumu ini,” perintah Ibu yang acap kali aku dengarkan sebelum berangkat sekolah. Meski agak jengkel dengan pesan Ibu tiap pagi, namun Ibu merupakan tulang punggung keluargaku saat ini. Selepas Bapak meninggal setahun yang lalu, Ibulah yang memperkuat keuangan, meski aku juga punya andil dalam ekonomi keluraga juga. Kini usiaku 16 tahun, duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah Atas. Jam tiga sore aku sudah sampai rumah dari sekolah. Saatnya untuk membantu Ibu memasak aneka gorengan yang nantinya dijual bersama kopi hitam dan teh tubruk di sisi stasiun.
Sore itu seperti biasa aku mulai membuka warung kecilku, gorengan mulai kutata rapi. Tak lupa kompor kunyalakan untuk merebus air buat seduhan kopi dan teh tubruk. Buku pun sudah selalu siap disamping dagangan menemani, meski kadang tak tersentuh sama sekali. Ibu tak sekali jua menengokku karena harus merawat adik terkecilku yang baru berusia 15 bulan.
Pelanggan mulai berdatangan selepas magrib hingga jam delapan yang hanya menikmati gorengan dan minuman hangat. Setelah itu aku menambahkan jualanku, namun aku batasi pelanggan yang datang, karena badanku akan sangat letih jika lebih dari tiga pelanggan. Gincu merek viva tak lupa aku oleskan tipis-tipis di antara redupnya lampu kehidupanku.
Pentigraf ini memakai latar stasiun. Tentu ini merupakan latar pas diangkat untuk mengangkat paradoks-paradoks sebuah kota. Stasiun tempat kereta api berangkat dan berhenti, lalu orang-orang berbondong-bondong masuk atau keluar dari pintu gerbong. Di kepala mereka berderak aneka macam pikiran dengan kadar kerumitan masing-masing. Stasiun merupakan metafora sebuah kota. Dari stasiun itulah segala persoalan manusia bisa bermula dan belum tentu berakhir, saling-silang bagai rel.
Tokoh ‘aku’ siswi SMA berusia 16 tahun hidup dalam saling-silang seperti itu. Panggilan untuk bisa bertahan hidup bersama ibu dan adiknya menjadi tugas mahaberat dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan. Kota itu bukan tempat yang murah. Antara mimpi dan kenyataan, antara utopia dan distopia, antara harapan dan pahitnya hidup, melahirkan paradoks-paradoks yang beragam dan rumit. Dalam kondisi seperti itulah manusia kota bisa terjebak pada labirin gelap hidupnya.
Manusia kota itu ibarat laron-laron. Hal itu dapat dibaca dari pentigraf berikut ini.
LARON-LARON KOTA
Megawati Lie
Aku tak pernah suka tinggal di kota besar, sebenarnya. Semuanya penuh kepura-puraan. Aku harus mengenakan dasi ke kantor, terutama saat mempunyai janji temu dengan klien. Padahal, aku harus berjalan kaki dari tempat kosku yang berada di belakang gedung pencakar langit perkantoranku. Bu Linda, atasanku, tidak pernah mau tahu dengan keringat yang membasahi punggung dan bajuku. Ia akan menunjukkan wajah masam jika aku belum memakai dasi sewaktu tiba di kantor.
Meskipun begitu, aku sangat menikmati pekerjaanku sebagai sales consultant. Betapa tidak, makan siang di kafe atau hotel berbintang sudah menjadi hal yang biasa bagiku. Semua biaya ditanggung oleh kantor, dengan dalih meeting dengan klien. Masuk-keluar mall mewah pun menjadi pekerjaanku sehari-hari, karena klien minta ditemui di sana demi efisiensi waktu.
Sore ini, tidak ada jadual meeting dengan klien. Aku mampir ke warung makan Mbok Warsih di kolong jembatan flyover sebelum pulang. Aku tengah membayar sebungkus nasi rames untuk makan malamku, ketika seseorang menyapaku. Alamak, sialan! Dara, klien perusahaan yang tadi siang meeting denganku, menunjukkan wajah bertanya-tanya melihatku. "Eeng…, ini untuk Pak Parto, penjaga kos saya," ujarku tergagap sembari memasukkan kembalian 35 ribu rupiah terakhirku ke dalam dompet. Masih cukup untuk makan malam besok, sebelum lusa aku gajian.
Pentigraf tersebut juga menyajikan paradoks-paradoks.
Pentigraf ini mengangkat tokoh ‘aku’ sebagai pencerita. Sama dengan pentigraf Gadis di Sisi Stasiun. Mengapa ‘aku’? Sebab penulis mengajak pembaca menikmati refleksi para tokoh yang seakan-akan merupakan bagian langsung dari kehidupan kota. Atau, penulis ingin menegaskan bahwa persoalan kota bukan hanya merupakan persoalan budaya dan sosial, namun juga persoalan pribadi dan batin setiap penduduk kota. Paradoks-paradoks terjadi dalam setiap hati.
Dalam pentigraf Megawati Lie terdapat paradoks-paradoks: dasi dan jalan kaki, keringat dan mall, kafe, atau hotel ber-AC, serta kejujuran dan kebohongan, fakta dan pura-pura. Para laron yang terbang dari desa menuju gemerlap lampu kota akan disergap oleh paradoks-paradoks seperti itu. Paradoks-paradoks itu bukan hanya bersifat fisik namun juga masuk dalam dunia kebatinan para penduduk kota.
Sungguh, membaca Kitab Pentigraf ini pembaca diajak merenungkan tentang karakter kota dan diajak untuk bijak menyikapi hidup di kota-kota. Bacalah, dan jadi bijak.


Tengsoe Tjahjono
Malang, Hari Buruh 2019


PENTIGRAF SEBAGAI KARYA SASTRA (LANJUTAN)
Oleh Tengsoe Tjahjono

CONTOH PROSES MENULIS PENTIGRAF

Sebuah karya sastra selalu bermula dari bahan. Bahan penulisan karya sastra adalah pengalaman sehari-hari, realitas faktual, atau realitas objektif, realitas yang dialami atau diindra oleh seorang penulis.

Misalnya pada suatu ketika Anda menyaksikan kehidupan seorang nenek tua. Dia hidup sebatang kara di sebuah gubug reyot di pinggir sungai. Entah di mana keluarganya. Pekerjaan nenek tua itu memungut benda-benda bekas di tempat sampah yang terletak tidak jauh dari gubugnya. Lalu misalnya Anda menulis pentigraf sebagai berikut.

NENEK SEBATANG KARA
Di pinggir sebuah sungai yang airnya mengalir deras berdirilah sebuah gubug yang sangat memprihatinkan. Atapnya terbuat dari seng, terlihat bocor di sana-sini. Andaikan sungai itu meluap gubug itu pasti ikut hanyut diseret air.

Siapa penghuni gubug itu? Dia adalah seorang nenek tua yang tinggal sebatang kara. Orang-orang tak mengenali nenek tua itu. Mereka juga tidak tahu siapa keluarga nenek tua tua itu? Mungkin saja dia tidak memiliki suami, apalagi anak.

Setiap hari nenek tua itu bekerja memungut barang-barang bekas di bukit sampah yang terletak tidak jauh dari gubugnya. Sungguh menyedihkan kehidupan nenek malang itu.

Bandingkan sekarang antara realitas objektif dengan teks pentigraf Anda. Tidak berbeda, bukan? Anda hanya memindahkan realitas faktual tentang kehidupan nenek tua ke dalam pentigraf. Anda belum MENGOLAHNYA menjadi sebuah realitas baru, realitas imajinatif. Anda baru sebatas MELAPORKAN peristiwa atau keadaan, Anda belum benar-benar MENCIPTAKAN suatu dunia baru dalam pentigraf Anda.

Bisa jadi dengan bahan realitas faktual yang sama Anda bisa menulis seperti berikut ini.

HUJAN TIGA HARI
“Aku masih kuat bekerja,” kata nenek tua itu ketika Yeny, petugas Dinas Sosial, yang berusaha membujuknya untuk pindah ke tempat penampungan yang lebih baik. Kedua perempuan itu sama-sama memandang gubug di bantaran sungai tersebut, tentu dengan pikiran yang saling berbeda. Hujan turun sudah tiga hari ini. Air sungai pun sudah mencapai bibir. Gubug beratap seng yang bolong di sana-sini tak mampu bertahan dari gempuran air.  Matras bekas, yang tak lagi berbentuk, basah. Bahkan, lantai tanah itu becek oleh genangan.

“Hujan makin deras, Ibu. Ibu ikut kami saja,” bujuk Yeny sambil mengusap wajahnya yang basah oleh lelehan hujan. Nenek tua itu bersikukuh. Dia malah meringkuk di matras yang basah. Dalam batinnya terbentang kalimat: Ini rumahku. Tak akan aku tinggalkan, apa pun yang terjadi. Yeny melirik petugas Dinas Sosial lainnya. Ada 4 laki-laki bersamanya. Keempat lelaki itu merangsek ke dalam, berusaha membopong sang nenek. Nenek itu meronta. Setua itu tubuhnya terlihat perkasa. Tak mudah membetotnya dari matras lapuk itu.

Hujan turun sangat lebat. Suara gemuruh terdengar dari hulu. Dalam hitungan detik air sungai itu meluap, coklat dan keras. Yenny terkejut. Empat lelaki itu berusaha memegang dan menyeret nenek tua itu sekuat tenaga, melawan terjangan air. Nenek itu lengket dengan matrasnya. Tak mudah. Pegangan itu pun terlepas. Hanya dalam satu tarikan napas gubug itu tersapu banjir. Berantakan jadi serpihan-serpihan papan dan seng. Sebuah matras tua tampak timbul tenggelam. Entah, nenek tua itu di mana. Yeny dan empat kawannya melongo di atas mobil Dinas Sosial. Dia menangis, “Aku telah gagal hari ini.” Hujan tidak makin reda.

Sekarang bandingkan antara realitas faktual dengan teks pentigraf Anda. Berbeda, bukan? Pentigraf yang berjudul “Hujan Tiga Hari” telah berubah menjadi sebuah realitas baru, sebuah realitas imajinatif. Pentigraf ini bukan sekadar transfer peristiwa. Penulis telah sungguh-sungguh MEMBANGUN, MEMBENTUK, MENCIPTA, MENGANGKAT pengalaman sehari-hari atau realitas objektif menjadi sebuah dunia baru yang memiliki NILAI LEBIH dibandingkan dengan pengalaman yang telah diamatinya.

Tugas penulis adalah membangun sebuah dunia baru lewat karya sastranya, bukan sekadar hanya mendeskripsikannya. Selamat menulis.

Tengsoe Tjahjono
Malang, 4 Agustus 2017


PENTIGRAF SEBAGAI KARYA FIKSI
Oleh Tengsoe Tjahjono

Apa pun yang terjadi pentigraf atau cerpen tiga paragraf merupakan karya fiksi atau karya sastra. Hakikat fiksionalitas melekat pada diri pentigraf. Bagaimana sebenarnya proses penulis fiksi?

1. Fiksi dari kata Latin fictio yang berarti membentuk, membangun, mencipta, mengkreasi, mengkonstruksi. Untuk melakukan hal tersebut tentu memerlukan bahan, bahan yang akan dibentuk, dibangun, dicipta, dikreasi atau dikonstruksi. Apakah bahan penulisan karya fiksi? Bahan utamanya adalah pengalaman sehari-hari, pengalaman hidup, realitas faktual.
2. Bahan-bahan tersebut lalu diolah oleh penulis dengan berbekal alat dan pengalaman yang dipunyai. Bekal apa yang harus dimiliki agar olahannya menjadi baik dan menarik? Bekal itu adalah: pengalaman bahasa, pengalaman estetika, pengetahuan dunia, serta ideologi dan filosofi yang dihayati. Nah, masing-masing penulis memiliki kualitas bekal yang saling berbeda.
3. Karena bahan tersebut telah diolah sedemikian rupa maka realitas faktual atau realitas objektif itu berubah menjadi realitas baru, realitas subjektif, atau realitas imajinatif yang BERBEDA dengan realitas objektif sebagai bahan penulisan. Tugas penulis bukan MEMINDAHKAN realitas sehari-hari ke dalam teks tetapi MENGOLAH dan MENGANGKAT realitas tersebut menjadi realitas baru. Jadi, andaikan realitas yang ditulis itu A, maka di tangan seorang sastrawan akan berubah menjadi mungkin saja (A+B+C)x12, sebuah realitas baru yang jauh berbeda dengan realitas A. Jika A ditulis tetap A, bukanlah karya sastra atau fiksi.

Pertanyaannya sudahkah pentigraf kita sungguh merupakan realitas baru atau masih proyeksi atau melukiskan realitas objektif, pengalaman wantah yang kita alami? Kalau jawabannya kita ternyata masih sedang memindahkan realitas itu ke dalam teks pentigraf, kita harus mau belajar untuk mengolahnya menjadi realitas baru, realitas imajinatif. Selamat menulis.


Tengsoe Tjahjono
Malang, 3 Agustus 2017


Tidak ada komentar:

Posting Komentar