Kamis, 12 Oktober 2017

NYANYI SUNYI NYANYIAN RAKYAT

                
Sebagai orang yang tinggal di Jawa Barat khususnya suku Sunda tentu mengenal nyanyian  dibawah ini.
Lirik Lagu                                                             (Terjemah Bebas Bahasa Indonesia) 
Oray-orayan                                                         Bermain ular-ularan
Luar leor ka sawah                                             Meliak-liuk ke sawah
Entong kasawah                                                  Jangan ke sawah
Parena keur sedeng beukah                              padinya sedang merekah
Oray-orayan                                                         Bermain ular-ularan
Luar leor ka kebon                                              Meliuk-liuk ke kebun
Entong ka kebon                                                                 Jangan ke kebun
Di kebon loba nu ngangon                               Di kebun banyak pengembala
Mending ka leuwi                                               Lebih baik ke lubuk saja
Di leuwi loba nu mandi                                     Di lubuk banyak yang mandi
Saha anu mandi?                                                Yang mandi yang mana?
Anu mandina pandeuri                                      Yang mandinya terakhir

Nyanyian ini biasanya dilakukan sejumlah anak yang membentuk barisan sambil berpegangan bahu dan  berjalan menirukan gerak-gerik ular.
Anak-anak dulu sering memainkan permainan ini, dilakukan selepas mereka sekolah Madrasah atau selepas mengaji di halaman rumah Pak Ustad mereka. Mereka bernyanyi penuh kecerian dengan suka cita dan penuh kekompakan, bertanggungjawab, disiplin, dan tak pernah mereka berlaku curang.
            Dimanakah permainan itu sekarang? Sudah hilangkah dalam permainan anak-anak zaman sekarang? Lirik lagu diatas sebenarnya merupakan nyanyian yang sudah turun temurun ada, dan berkembang di masyarakat lewat bahasa lisan yang sejatinya adalah merupakan salah satu karya sastra yang patut kita lestarikan.
            Nyanyian “Oray-orayan” merupakan nyanyian rakyat dan termasuk  folklor.
Arti folklor secara keseluruhan menurut pendapat Danandjaja (1997:2) sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (nemonic device).
            Folklor pada masyarakat Sunda, sama dengan folklor dengan daerah lain, yaitu terbagi menjadi folklor lisan (verbal folklore), folklor setengan lisan (partly folklore), dan folklor bukan lisan (nonverbal folklore).
            Bila kita lihat pembagian folklor diatas tentunya nyayian yang berjudul “Oray-orayan” termasuk kedalam folklor lisan (verbal folklore). Nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antarara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian (Brudvand dalam Danandjaja, 1997:141). Contohnya 1). Kakawihan urang lembur (tokecang, eundeuk-eundeukan, ayang-ayanggung, prang-pring, bulantok, dll). 2).Lagu-lagu calung, 3). lagu pa nyawer, 4). Jampe pamake, dll.
            Pada saat arus modernisasi masuk ke negeri ini dan seiring dengan bercampurnya kebudayaan asing dan daerah, nyanyian rakyat mulai sepi dan jarang terdengar lagi. Anak-anak sekarang di nina bobokan oleh tayangan film kartun menjelang tidurnya, yang dulu disenandungkan ‘nengneleng nengkung’ atau ayang-ayangung. Pesta sunat anak laki-laki sekarang, dipertontonkan pertunjukan dangdut, yang dulunya dihibur dan diajak bercanda lewat pementasan calung atau reok yang sarat dengan amanat dan hiburan. Pesta pernikahan tergerus oleh budaya asing yang tidak jelas maksud dan tujuannya, sudah jarang syukuran pernikahan sekarang menggunakan acara saweran, padahal isi dari lirik-lirik pa nyawer adalah lantunan doa yang di nyanyikan oleh sinden.
            Nyanyian rakyat dianggap sudah dianggap tidak modern, nyanyian rakyat dianggap kuno, itu hanya warisan budaya leluhur kita, hanya sekedar hiburan bahkan terkesan mistis dan dianggap takhayul? Jangan pernah kita beranggapan demikian. Bila kita mampu mempertahankan budaya dan warisan leluhur kita, tentu budaya yang dianggap kuno adalah suatu budaya yang patut kita pelajari dan kita lestarikan keberadaannya, tidak mungkin ada budaya modern kalau tidak ada budaya pendahulunya.
            Upaya yang sudah dilakukan pemerintah daerah untuk menjaga kebudayaan asli (Sunda) tentunya sudah dilakukan, contoh di lingkungan pendidikan yaitu penggunaan pakaian adat di hari tertentu bagi para siswa. Ini diharapkan jangan hanya menjadi simbol saja, tetapi harus terus dijaga dan dipertahankan, sehingga dengan berpakaian adat daerah (Sunda) langkah selanjutnya pun dengan bahasanya, bahasa yang pakai pada saat menggunakan pakaian adat, gunakan juga dengan bahasa Adat (Sunda).
            Tentunya upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidak akan berhasil tanpa dukungan dari kita semua. Kita sebagai orang tua harus membiasakan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah dan mengajarkan kembali ‘pupuh’ dan tembang sunda. Kita kenalkan kembali permainan-permainan Galahsin, bebentengan, sondah yang bila kita cermati permainan tersebut penuh dengan taktik dan mengajarkan seorang anak untuk bermain strategi baik secara individu atau kerja sama di dalam kelompoknya.

Nyanyian Perepet Jengkol, Cing-Ciripit, Bulantok, oray-orayan, Endog-endogan, akan dinyanyikan lagi oleh anak perempuan disela anak laki-laki bermain galahsin.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar