NYANYI SUNYI NYANYIAN
RAKYAT
Sebagai orang yang tinggal di Jawa Barat khususnya suku
Sunda tentu mengenal nyanyian dibawah
ini.
Lirik Lagu (Terjemah
Bebas Bahasa Indonesia)
Oray-orayan Bermain
ular-ularan
Luar leor ka sawah Meliak-liuk
ke sawah
Entong kasawah Jangan ke sawah
Parena keur sedeng beukah padinya sedang
merekah
Oray-orayan Bermain
ular-ularan
Luar leor ka kebon Meliuk-liuk
ke kebun
Entong ka kebon Jangan ke kebun
Di kebon loba nu ngangon Di kebun
banyak pengembala
Mending ka leuwi Lebih
baik ke lubuk saja
Di leuwi loba nu mandi Di lubuk banyak yang mandi
Saha anu mandi? Yang
mandi yang mana?
Anu mandina pandeuri Yang mandinya terakhir
Nyanyian ini biasanya dilakukan sejumlah anak yang membentuk barisan
sambil berpegangan bahu dan berjalan menirukan gerak-gerik ular.
Anak-anak dulu sering memainkan permainan ini,
dilakukan selepas mereka sekolah Madrasah atau selepas mengaji di halaman rumah
Pak Ustad mereka. Mereka bernyanyi penuh kecerian dengan suka cita dan penuh
kekompakan, bertanggungjawab, disiplin, dan tak pernah mereka berlaku curang.
Dimanakah
permainan itu sekarang? Sudah hilangkah dalam permainan anak-anak zaman
sekarang? Lirik lagu diatas sebenarnya merupakan nyanyian yang sudah turun
temurun ada, dan berkembang di masyarakat lewat bahasa lisan yang sejatinya
adalah merupakan salah satu karya sastra yang patut kita lestarikan.
Nyanyian “Oray-orayan”
merupakan nyanyian rakyat dan termasuk
folklor.
Arti folklor secara keseluruhan menurut pendapat Danandjaja (1997:2)
sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun,
di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda,
baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau
alat pembantu pengingat (nemonic device).
Folklor pada masyarakat
Sunda, sama dengan folklor dengan daerah lain, yaitu terbagi menjadi folklor
lisan (verbal folklore), folklor setengan lisan (partly folklore), dan folklor
bukan lisan (nonverbal folklore).
Bila kita lihat pembagian
folklor diatas tentunya nyayian yang berjudul “Oray-orayan” termasuk kedalam
folklor lisan (verbal folklore). Nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau
bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan
di antarara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak
mempunyai varian (Brudvand dalam Danandjaja, 1997:141). Contohnya 1). Kakawihan urang lembur (tokecang,
eundeuk-eundeukan, ayang-ayanggung, prang-pring, bulantok, dll). 2).Lagu-lagu calung, 3). lagu pa nyawer, 4).
Jampe pamake, dll.
Pada saat arus modernisasi
masuk ke negeri ini dan seiring dengan bercampurnya kebudayaan asing dan
daerah, nyanyian rakyat mulai sepi dan jarang terdengar lagi. Anak-anak
sekarang di nina bobokan oleh tayangan film kartun menjelang tidurnya, yang
dulu disenandungkan ‘nengneleng nengkung’ atau ayang-ayangung. Pesta sunat anak
laki-laki sekarang, dipertontonkan pertunjukan dangdut, yang dulunya dihibur
dan diajak bercanda lewat pementasan calung atau reok yang sarat dengan amanat
dan hiburan. Pesta pernikahan tergerus oleh budaya asing yang tidak jelas
maksud dan tujuannya, sudah jarang syukuran pernikahan sekarang menggunakan
acara saweran, padahal isi dari lirik-lirik pa
nyawer adalah lantunan doa yang di nyanyikan oleh sinden.
Nyanyian rakyat dianggap
sudah dianggap tidak modern, nyanyian rakyat dianggap kuno, itu hanya warisan
budaya leluhur kita, hanya sekedar hiburan bahkan terkesan mistis dan dianggap
takhayul? Jangan pernah kita beranggapan demikian. Bila kita mampu
mempertahankan budaya dan warisan leluhur kita, tentu budaya yang dianggap kuno
adalah suatu budaya yang patut kita pelajari dan kita lestarikan keberadaannya,
tidak mungkin ada budaya modern kalau tidak ada budaya pendahulunya.
Upaya yang sudah dilakukan
pemerintah daerah untuk menjaga kebudayaan asli (Sunda) tentunya sudah
dilakukan, contoh di lingkungan pendidikan yaitu penggunaan pakaian adat di
hari tertentu bagi para siswa. Ini diharapkan jangan hanya menjadi simbol saja,
tetapi harus terus dijaga dan dipertahankan, sehingga dengan berpakaian adat
daerah (Sunda) langkah selanjutnya pun dengan bahasanya, bahasa yang pakai pada
saat menggunakan pakaian adat, gunakan juga dengan bahasa Adat (Sunda).
Tentunya upaya yang
dilakukan oleh pemerintah daerah tidak akan berhasil tanpa dukungan dari kita
semua. Kita sebagai orang tua harus membiasakan berkomunikasi dengan menggunakan
bahasa daerah dan mengajarkan kembali ‘pupuh’ dan tembang sunda. Kita kenalkan
kembali permainan-permainan Galahsin, bebentengan, sondah yang bila kita
cermati permainan tersebut penuh dengan taktik dan mengajarkan seorang anak
untuk bermain strategi baik secara individu atau kerja sama di dalam
kelompoknya.
Nyanyian Perepet
Jengkol, Cing-Ciripit, Bulantok, oray-orayan, Endog-endogan, akan dinyanyikan lagi oleh anak
perempuan disela anak laki-laki bermain galahsin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar