BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filsafat zaman modern pada pertengahan abad 18 sampai abad 19
adalah filsafat Barat dalam arti yang sebenarnya. Hal ini disebabkan karena
baru pada zaman ini setelah abad pertengahan muncul di segala bidang hidup
syarat-syarat yang diperlukan bagi perkembangan suatu pemikiran yang
bebas. Kalau abad pertengahan masih
bergerak dalam belenggu kekuasaan teologi dan gereja, maka pada zaman abad
modern tersebut filsafat menjadi kuasa rohani yang berdiri sendiri yang dimulai
dengan renaissance, di mana orang lebih memusatkan perhatian dan konsentrasinya
pada manusia sendiri, bukan pada Tuhan, kepada hidup sekarang, bukan pada
kehidupan akhirat, pemikiran yang bercorak antroposentris. Renaisance
disusul dengan aufklarung yang menjadikan manusia merasa menjadi dewasa,
makin percaya kepada diri sendiri dan berusaha membebaskan diri dari segala
kuasa yang mengikatnya terutama dogma tradisi gereja.
Sejalan dengan perkembangannya, sejak abad ke 19
filsafat menjadi terbagi-bagi menjadi filsafat Jerman, filsafat Perancis,
filsafat Inggris, filsafat Amerika dan filsafat Rusia. Bangsa-bangsa ternyata
mengikuti jalannya sendiri-sendiri dan masing-masing membentuk kepriba diannya
sendiri dengan cara dan pengertian dasar sendiri-sendiri.[1]
Suatu hal yang baru pada zaman abad 19 adalah dominasi Jerman secara
intelektual yang dimulai dari pemikiran Kant sebelumnya.
Abad 19 adalah abad yang ruwet dibanding dengan abad-abad
yang sebelumnya. Hal ini disebabkan karena beberapa hal; pertama, daerah
tempat filsafat berkembang menjadi lebih luas. Amerika dan Rusia ikut
memberikan sumbangan mereka. Kedua, ilmu pengetahuan berkembang cepat
sekali terutama di bidang pengetahuan alam seperti geologi, biologi dan kimia
organis. Ketiga, produksi yang dihasilkan mesin-mesin sangat mengubah
masyarakat dan memberikan kepada manusia suatu konsepsi baru tentang kuasa
dalam hubungannya dengan alam sekitar. Keempat, baik di bidang filsafat
maupun di bidang politik ada suatu revolusi yang mendalam terhadap sistem-sistem
tradisional dalam pemikiran, politik dan ekonomi, yang mengakibatkan adanya
serangan-serangan terhadap banyak kepercayaan dan lembaga-lembaga yang
dipandang sebagai tak tergoyah.
B.
Rumusan Masalah
Berpijak
dari uraian latar belakang tersebut, maka diambil beberapa rumusan masalah yang
akan dibahas adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana perkembangan abad 19
?
2.
Bagaimana perkembangan abad 20 ?
C. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui gagasan / ide perkembangan filsafat abad ke 19
2.
Untuk
mengetahui sipa tokoh filsafat ilmu di abad ke 19
3.
Untuk
mengetahui gagasan / ide perkembangan filsafat abad ke 20
4.
Untuk
mengetahui sipa tokoh filsafat ilmu di abad ke 20
D.
Manfaat
Penulisan makalah Filsafat ilmu ini diharapkan
mampu memberikan manfaat bagi penulis pada saat mengampu matak kuliah filsafat
ilmu dan pembaca bagi umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERKEMBANGAN SAMPAI PADA ABAD KE-19
Menelusuri sejarah
filsafat ilmu pengetahuan selama masa modern sambil berhenti pada beberapa
pokok dan tokoh yang menonjol.Masa khas Renaissance dan Humanismedunia Barat
sejak pada abad ke-15 ialah menonjolnya manusia sebagi pribadi perseorangan dan
sebagai yang berkuasa. Ciri itu antara lain menampakan diri dalam bidang seni, politik, filsafat
agama maupun gerakan-gerakan melawan agama, ilmu pengetahuan, dan teknik.
A.1 Tokoh Filsafat Ilmu Abad ke 19
1.
Bacon
(1561-1626)
a.
Riwayat Hidup dan Karyanya
Bacon lahir di London,
selam hidupnya ia menekuni studi, dan penuh pehatian akan dunia sekitarnya.
Pada tahun 1621 ia diangkat mejadi Viscount of St. Albans.
Beberapa karyanya,
The Advancement of Learning (1606), yang kemudian di sadur kembali pada tahun
1623 denag judul De digtnitatebet augmentis scientiarum(Tentang perkembangan
luhur suatu ilmu), sebagai bagian pertama dari suatu karya raksasa yang di
rencanakannya namun tak pernah diselesaikan yang berjudul umum Instauratio
magna (pembaharuan besar). Bagian kedua dari Instauratio itu sudah terbit pada
tahun 1620, yaitu Novum Organum (Organum Baru).
b. Ciri
Umum Karya Bacon
Menurut Bacon
berlangsunglah arah baru yang belum pernah disaksikan bangsa manusia.Mengenai
pembagian ilmu, menurut bacon jiwa manusia yang berakal mempunyai suatu
kemampuan triganda, yaitu ingatan
(memoria), daya khayal (imagination), dan akal (ratio). Ketiganya
merupakan dasar segal pengetahuan. sedang filsafat sendiri menurutnya dibagi menjadi
tiga bidang, yaitu:
a.
De Numine, filsafat ketuhanan;
adanya pengetahuan teologis
berdasarkan wahyu
b.
De natura, tentang dunia tempat
tinggal manusia
c.
De homine, tentang manusia
Sikap khas Bacon mengenai ciri dan tugas filsafat paling mencolok dalam
Novum Organum. Pengetahuan dan kuasa manusia didekatnya satu sama lain karena
tidak dikuasai kecuali jalan “menaatinya” Agar dapat “taat” pada perlulah
manusia mengenalnya terlebih dahulu.
Penilaian Singkat
Menurut Barcon
matematika dan logika seperti halnya filsafat dan metafisika tradisional tidak
berguna sama sekali, karena tidak menambahkan sesuatu pun pada kemampuan
manusia untuk menguasai dunia dan alam.
2. David Hume dan Immanuel Kant
Kedua tokoh abad
ke-18 ini jangan diogolongkan sebagai filsuf ilmu pengetahuan,karena ruang
lingkup karya dan filsafat mereka jauh melebihi bidang filsafat ilmu
pengetahuan.
David Hume berpendapat bahwa aggapan
tentang pengetahuan ada dua cara;
1.
pengetahuan empiris berdasarkan pengamatan tanpa melalui data-data
pengamatan
2.
hanya matematika, logika, yang keduannya deduktif.
Immanuel Kant
Ilmu pengetahuan dan hukum
diperoleh dengan cara atau melalui proses induksi.
3. John Stuart Mill (1806-1873)
a. Riwayat Hidup dan
Karyanya
Mill lahir di kota London, Karya
Mill meliputi filsafat Negara dan ketuhanan (A System of Logic(1843)), dengan pokok pembicaraan sekitar cara kerja
ilmu-ilmu alam.
b. Ajaran Mill tentang Ilmu-ilmu
Didalam ajaran yang
diperkenalkan oleh Mill didalamnya terdapat pembahasan mengenai
·
Problematika Induksi
·
Pembenaran Proses Induksi
·
Cara Kerja Induksi
c. Beberapa Tokoh dan Aliran Sehubungan dengan
Mill Yaitu:
·
William Whewel (1794-1866)
·
Aguste Comte (1798-1857)
·
Jules Lacheilier (1832-1918)
4. Hegel
1.
Biografi Hegel
Georg
Wilhelm Friedrich Hegel, keluarga dekatnya memanggilnya dengan
"Wilhelm" lahir di Stuttgart pada 27 Agustus 1770. Ayahnya Georg
Ludwig (1733 - 1779) lahir di Tübingen dari keluarga pegawai negeri dan
pendeta, adalah seorang perwira pendapatan biasa dalam pelayanan fiskal
Württemberg. Ibunya, Maria Magdalena Louisa (dahulu Fromm, 1741 - 1783)
berasal dari keluarga Stuttgart, rumah bagi beberapa teolog terkemuka,
pengacara dan birokrat tingkat tinggi di Württemberg, terdidik
dan punya kemampuan skolastik untuk mengajar anaknya Hegel muda
unsur-unsur dari bahasa Latin.
Georg Ludwig dan Maria Magdalena menikah pada 29 September
1769. Hegel adalah yang tertua dari tiga anak-anak Saudara perempuannya, Louisa Kristen (1773-
1832), yang telah bekerja 1807- 1814 sebagai pengasuh untuk Count Josef von
Berlichingen, Saudara Georg Hegel Ludwig si bungsu, tewas dalam
pertempuran sebagai perwira untuk tentara Napoleon di Rusia.
Pada usia ketiga Hegel belajar di Sekolah
Jerman. Pada usia lima tahun, sekolah Latin. Ia dididik di Stuttgart Gymnasium
(sekolah dasar) antara umur tujuh dan delapan belas.. Dia adalah seorang yang serius, pekerja keras
dan sukses siswa.. Ia menunjukkan rasa ingin
tahu yang luar biasa, berbagai tingkat kepentingan dan bacaan.
Hegel memperoleh karya-karya Shakespeare
lengkap (18 jilid, dalam Bahasa Jerman translation) dari guru tercinta,
Löffler.. Di antara para penulis Yunani
kesukaannya adalah Plato, Socrates, Homer dan Aristoteles. Ia terinspirasi oleh
tragedians Yunani, Euripides dan Sophocles, Ia membaca Bibel dalam bahasa
Yunani, serta Homer's Iliad. Di antara penulis Latin kesukaannya Livius, Cicero
dan Epictetus, dan ia juga menerjemahkan beberapa karya mereka.
Hegel juga belajar bahasa Ibrani, mulai dari kelas lima, selama dua
jam setiap minggu.. Ia belajar bahasa
Perancis di waktu siang-kursus elektif yang ditawarkan oleh sekolah.. Dia juga belajar bahasa Inggris. Di Jerman dalam
dunia Filsafat ia mengamati Moses Mendelssohn 's, PHAEDON, dan Wolf's, LOGIC.
Utamanya menulis, selain dari terjemahan,
adalah buku harian (sebagian dalam bahasa Latin) terus pada interval selama
delapan belas bulan (mulai ketika ia berusia sekitar lima belasia berumur tujuh
belas tahun). Ketika Hegel berumur delapan belas tahun,
ia masuk di Stift Theological Seminary di Tübingen. Namun, ia lebih suka
Aristoteles (yang ia belajar secara intensif saat ini), Schiller, Spinoza,
Jacobi, Herder, Voltaire, dan ia memegang kesukaan khusus untuk tulisan-tulisan
Rousseau.
Hegel terus belajar dan sukses dalam karier
akademik.. Setelah dua tahun Hegel diperoleh
tingkat PhD ( "Magister der Philosophie") pada September 1790. Pada
dua puluh tiga, pada bulan September 1793, ia memperoleh sertifikat teologis
yang didambakan. Ijazah Hegel menyatakan
bahwa ia kemampuan yang baik, tapi dari industri menengah dan pengetahuan
menengah.. Sertifikat yang asli menyatakan
bahwa Hegel mencurahkan banyak upaya untuk Filsafat. Ini ditulis dalam bahasa
Latin sebagai berikut: "Philosophiae multam operam impendit."
Hegel meninggal pada tahun 1831 M[2]
2.
Idealisme Hegel
Tokoh filsafat idealisme yang berkembang di Jerman
sebenarnya bukan hegel satu-satunya. Di samping hegel ada Fichte (1762-1814),
Schelling (1775-1854) dan Schopenhauer (1788-1868). Namun gerakan dalam
filsafat Jerman, yang diawali dengan Kant mencapai puncaknya perkembangannya
dalam filsafat Hegel (1770-1831). Ia termasuk dari salah satu filosof Barat
yang paling menonjol. Pengaruhnya begitu besar sampai di luar Jerman. Ia banyak
menulis buku, filsafatnya sukar untuk dimengerti, oleh Dr. Harun Hadiwijono
dianggap filsafat Hegel adalah mungkin yang paling sukar dari segala filsafat.
A.
3 Dialektika : Tesa, Antitesa dan Sintesa
Hegel mengeritik Fichte yang terlalu
memberi tekanan kepada obyektivitas Idea, sehingga persoalan tentang “objek
dalam dirinya” tetap menjadi sesuatu yang tidak jelas atau masih gelap. Hegel
mencoba mengerti bahwa sintesa yang mutlak antara subyek dan obyek bukanlah hal
yang terbatas yang telah menjadi tidak terbatas, melainkan suatu “keberadaan”
dalam “ketiadaan”, suatu “menjadi” di dalam “yang mutlak”.
Menurut Fitche, seluruh isi dunia
adalah sama dengan isi kesadaran[3].
Seluruh dunia diturunkan dari suatu asas yang tertinggi dengan cara: Ego
meng-ia-kan dirinya (menghasilkan atau disebut dengan tesa), yang mengakibatkan
adanya “bukan Ego” yang menghadapinya (disebut antitesa) lalu sebagai sintesa
dari keduanya, tesa dan antitesa tidak lagi saling mengucilkan yang berarti
kebenaran keduanya dibatasi atau
berlakunya keduanya itu dibatasi. Hal ini diungkapkan dalam suatu ungkapan yang
berbunyi; Ego menempatkan sesuatu “bukan Ego yang dapat dibagi-bagi” berhadapan
dengan “Ego yang dapat dibagi-bagi”.
Hegel berusaha mengatasi kedua sistem
tersebut dengan memperdalam pengertian sintesa. Menurutnya, di dalam sintesa
baik tesa maupun antitesa bukan dibatasi seperti pendapat Fichte melainkan aufgehoben.
Kata Jerman aufgehoben mengandung tiga arti, pertama, menge sampingkan
seperti suatu undang-undang dikesampingkan. Kedua, merawat, menyimpan, jadi
tidak ditiadakan, melainkan dirawat dalam suatu kesatuan yang lebih tinggi dan
dipelihara. Arti terakhir yaitu ditempatkan pada dataran yang lebih tinggi, di
mana keduanya tesa dan anti tesa tidak lagi berfungsi sebagai lawan yang saling
mengucilkan.
Contoh yang diperlihatkan oleh Hegel
dalam usaha menajamkan makna sintesa dari tesa dan antitesa, dalam kehidupan
sehari-hari, bahwa suatu pandangan yang ekstrim kanan menimbulkan pandangan
ekstrim kiri, yang melahirkan suatu usaha kompromi untuk menyelaraskan
keduanya. Misalnya, golongan yang satu menghendaki negara menguasai agama.
Pandangan ini mengandung hal positif diantaranya ada kesatuan diantara kekuatan
dan kekuasaan politik, sehingga ketertiban nasional terjamin. Pandangan ini
juga mengandung sisi negatif, kebebasan agama ditiadakan, agama harus tunduk
pada pemerintah.
Hal ini tentu menimbulkan reaksi,
yang menghendaki supaya agama menguasai negara. Keuntungan atau hal positif
dari pandangan ini kebebasan agama terjamin, agama dapat mengatur diri sesuai
dengan hakikat dan sifat-sifatnya. Kerugian atau hal negatif dari pandangan ini
yaitu adanya kemungkinan kebebaan agama itu berlaku hanya bagi satu agama saja.
Kalau pandangan pertama mewujudkan
tesa, maka pandangan kedua mewujudkan antitesa. Sintesa yang muncul bagi kedua
pendapat tersebut adaah adanya pandangan yang menghendaki perpisahan diantara
agama dan negara. Keduanya, negara maupun
agama harus diberi tugasnya sendiri-sendiri di bidangnya
sendiri-sendiri. Segi positif dari sintesa ini stabilitas nasional terjaga dan
kebebasan agama terjamin. Dalam sintesa, segala unsur positif dari tesa dan
antitesa disintesakan menjadi kesatuan yang lebih tinggi, walau tidak
dinafikan, sintesa juga tetap mempunyai sisi negatif, seperti kemungkinan agama
hanya menjadi “perkara pribadi” saja, sehingga mudah kehilangan rasa sosial
yamng tinggi atau kurang ikut menjaga nilai moral politik dan lainnya. Mungkin
dalam proses perkembangan lebih lanjut, orang akan sampai pada struktur dimana
ada hubungan dialogis anatara negara dan agama, bukan hanya perpisahan saja.
A.4 Roh : Idea atau
pikiran
Di antara pemikiran Hegel,
Yang Mutlak adalah Roh yang mengungkapkan diri di dalam alam supaya dapat sadar
akan dirinya sendiri. Hakikat Roh adalah idea atau pikiran. Pikiran menjadi
sadar akan dirinya sendiri di dalam sejarah manusia, sehingga manusia merupakan
bagian dari ide yang mutlak adalah Yang Ilahi.
Hakikat idea yang berpikir adalah gerak tapi bukan gerak lurus,
gerak disini adalah gerak yang berlangsung dalam gerak yang senatiasa
menimbulkan gerak lain. Gerak ini mewujudkan tesa yang dengan sendirinya
menimbulkan gerak yang berlawanan sebagai antitesa. Dari gerak yang saling
bertentangan tersebut timbul suatu gerak baru sebagai suatu sintesis yang
tarafnya lebih tinggi. Dengan demikian ada proses dalam idea, proses tersebut
menjadi keterangan untuk segala kejadian. Seluruh proses dunia adalah perkembangan
Roh (idea atau pikiran), sesuai dengan hukum dialektika Roh meningkatkan diri,
tahap demi tahap, menuju pada Yang mutlak.
Perkembangan Roh (idea) dalam filsafat Hegel dibagi
dalam tiga tahap yaitu logika, filsafat Alam dan filsafat Roh
1). Filsafat Hegel : Logika
Tahap Roh berada
dalam “ada dalam dirinya sendiri”. Ilmu filsafat yang membicarakan Roh dalam
posisi ini diistilahkan oleh Hegel sebagai logika. Pengertian logika yang
dimakksud bukan bentuk dan hukum berfikir logika yang tradisional, tapi ilmu
yang memandang Roh atau idea dalam dirinya, bebas dari ruang dan waktu.
Proses gerak
pemikiran adalah sama dengan proses gerak kenyataan, maka
pengertian-pengertian, kategori-kategori dan lainnya bukan hukum pemikiran
belaka tetapi kenyataan atau realita. Pemikiran, kategori dan lainnya bukan
hanya menyusun pemikiran kita, tetapi semuanya adalah kerangka dunia, semuanya
menggambarkan hakikat dunia dalam pikiran.
Permulaan logika
Hegel adalah ada. Atau dengan kata lain, tesa pertama Hegel ialah suatu pengertian
umum “ada”. Sebagai pengertian umum ‘ada’ harus dirumuskan lepas dari segala
isi yang kongkrit. Ia adalah yang ada
tanpa tambahan apa-apa, tidak mengungkapkan isi apa pun dan tidak dapat
dirumuskan bagaimana.
Tesa melahirkan
antitesa. Selama ‘ada’ tak mempunyai suatu ketentuan, maka ‘ada’ sama dengan
‘tidak ada’ dan hal yang tidak dapat
dirumuskan kalau ‘ada’ itu juga sekaligus ‘tidak ada’. Demikianlah ‘ada’ dan
‘tidak ada’ berwujud dua ungkapan yang
saling melengkapi bagi satu hal yaitu “awal yang tidak dapat ditentukan
bagaimana”[4].
Hal ini menunjukkan
bahwa pada “awal yang tidak dapat ditentukan bagaimana” itu ada gerak, yaitu gerak yang memindahkan
yang satu pada yang lain, memindahkan ‘tidak ada’ menjadi ‘ada’. Gerak dari
‘tidak ada’ menuju ‘ada’ disebut dengan ‘menjadi’. ‘Menjadi’ adalah sintesa,
karena dalam ‘menjadi’ keduanya ‘ada’ dan ‘tidak ada’ dipersatukan dalam posisi
yang lebih tinggi.
‘Menjadi’
melahirkan pergertian ‘yang dijadikan’, berarti ‘ada’ secara umum karena ‘menjadi’
dibatasi atau sebagai ‘yang terbatas’. Adanya sesuatu ‘yang terbatas’ mengandaikan adanya sesuatu ‘yang
tidak terbatas’, jadi tesa ‘menjadi’ melahirkan antitesa ‘yang dijadikan’ yang
menimbulkan sintesa ‘yang tidak terbatas’. Begitu seterusnya dalam pola
filsafat Hegel: logika
2). Filsafat Hegel : Filsasat Alam
Tahap kedua, Roh
berada dalam keadaan ‘berbeda dengan dirinya sendiri’, berbeda dengan yang lain. Roh keluar dari dirinya
sendiri, menjadikan dirinya di luar dirinya dalam bentuk alam yang terikat pada
ruang dan waktu. Hegel menyebut Ilmu filsafat
yang membahasnya dengan filsafat Alam. Idea atau Yang Mutlak telah
keluar dari dirinya sendiri ke dalam ruang dan waktu, dalam keadaan yang
berbeda, dengan penjelmaan alam. Pada akhirnya dalam pengasingan dirinya, Idea
tersesat, maka ia akhirnya akan berjalan kembali pada Roh Mutlak dengan melalui
tingkatan yang bermacam-macam
3). Filsafat Hegel: Filsafat Roh
Tahap terakhir,
ketika Roh kembali kepada dirinya sendiri, kembali dari berada di luar dirinya, sehingga Roh dalam
tahap ini dalam posisi ‘dalam dirinya dan bagi dirinya sendiri’. Ini yang
disebut Hegel dengan filsafat Roh. Kembali pada Roh Mutlak, kembali pada
dirinya sendiri, melalui tiga tingkatan; berawal dari roh subyektif, naik
tangga pada Roh obyektif dan sampai pada roh Mutlak.
Tingkatan pertama,
Roh subyektif masih dalam tahap orang perorangan masih dalam pengaruh alam,
namun berusaha melepas diri dari alam. Roh mulai beralih dari posisi ‘berada di
luar dirinya’ ke dalam posisi ‘berada bagi dirinya’. Manusia pribadi saat itu masih mewujudkan
sebagian jenisnya, sehingga masih dalam bagian alam.
Tingkatan kedua,
Roh obyektif, tingkatan mengandung ajaran pada hukum dan kesusi laan atau
moralitas, sehingga ajaran Roh obyektif disebut dengan etika. Kehendak rasional
diobjektifkan dalam bentuk hidup dan idea tentang yang baik direalisasikan
dalam lembaga-lembaga yang kongkrit. Nafsu-nafsu alamiah dipermlukman sebagai
hak dan kewajiban dalam bentuk dasar kesusilaan, sebagai contoh, nafsu seks
diperhalus dalam pernikahan dan keluarga.
Roh subyektif yang
terlihat dalam diri pribadi perorangan telah memasuki tingkatan lebih tinggi,
masuk pada aturan yang lebih tinggi sebagai hal yang obyektif, yaitu dalam
keluarga, masyarakat dan negara. Kawasan roh obyektif adalah keluarga,
masyarakat, negara dan sejarah (tempat keluarga, masyarakat dan negara
berkembang).
Negara
Pemikiran Hegel
tentang negara sangat penting. Negara baginya, adalah penjelmaan idea yang
tertinggi di dunia ini. Negara dipandang sebagai idea moralitas yang berwujud,
tempat idea dan realitas bertemu. Negara adalah substansi kesusialaan yang
telah sadar akan dirirnya, yang telah menjadikan asas keluarga dan masyarakat
sebagai sintesa. Negara adalah kekuasaan susila yang mempermaklumkan
keputusan-keputusan pribadi perorangan tidak ada lagi.
Bangsa-bangsa dalam
hubungannya satu dengan lainnya membnetukproses sejarah dunia. Sejarah dunia
adalah perkembangan Idea Mutlak. Dalam sejarah dunia, idea mutlak mewujud
dirinya dengan memakai waktu sebagai sarananya. Sejarah dunia adalah proses
penghantar Roh mengolah pengetahuan tentang apa yang pada dirinya, untuk sampai
pada diri sendiri. Rentetan kesadaran diri tersebut makin lama makin jelas, Roh
menemukan kebebasan dan hakikatnya sendiri.
Roh Mutlak,
tingkatan terakhir[5],
tingkatan Roh kembali pada dirinya sendiri dari ‘keadaan lain dari dirinya
sendiri’ kepada ‘keadaan dalam dirinya secara penuh’. Di sini Roh berada’dalam
dirinya dan bagi dirinya’.
Kawasan Roh
Kawasan Roh berada pada tiga bagian, kesenian, agama dan filsafat.
Dalam kawasan Roh Obyektif, ketegangan antara roh subyektif dan roh obyektif
belum ditiadakan, masih terdapat ketegangan-ketegangan antara individu dan yang
melebihi individu seperti kekuasaan kemasya rakatan. Ketegangan-ketegangan
tersebut mewujudkan daya pendorong dalam sejarah. Dalam kesenian tampak roh
yang telah didamaikan dengan dirinya sendiri, tampak obyek dan subyek dalam
keselarasan yang sempurna. Dalam keadaan ini tampaklah Idea Mutlak dalam kejelasannya.
Agama berada diatas
kesenian. Jika kesenian menampakkan keselarasan dalam bentuk lahiriah, maka
agama menampakkan kselarasan dalam bentuk batiniyah.
Sebagai akhir dalam
bentuk tertinggi, Roh Mutlak berada dalam dirinya adalah filsafat. Dalam agama,
Yang mutlak masih terikat kepada perasaan dan gagasan, belum terwujud dalam
bentuk pengertian pikiran yang murni. Apa yang terdapat dalam kesenian dan
agama, di dalam filsafat dijadikan bentuk murni gagasan.
4. Auguste Comte
Biografi Comte
Augustu
Comte lahir di Mountupiler, Prancis 19 januari 1798. Orang tuanya berstatus
menengah dan ayahnya kemudian menjadi pejabat lokal kantor pajak. Meski
tergolong cepat menjadi mahasiswa, ia tak mendapat ijazah dari perguruan
tinggi. Dalam setiap kelasnya di Ecole Polytecnique, Comte bersama seluruh
kelasnya di keluarkan karena gagasan politiknya dan pemberontakan yang di
lakukan. Pemecatan ini berpengaruh buruk terhadap karir akademik Comte.
Tahun
1817 ia menjadi sekretaris (dan menjadi anak angkat) Saint Simon, filsuf yang
40 tahun yang lebih tua. Mereka bekerja bersama secara akrab selama beberapa
tahun dan Comte menyatakan utang budinya kepada Saint-Simon;”aku secara
intelektual sangat berhutang budi kepada Saint-Simon……ia memberikan dorongan
sangat besar kepadaku dalam study filsafat yang memungkinkan diriku menciptakan
pemikiran filsafatku sendiri dan yang akan aku ikuti tanpa ragu selama hidupku”
tetapi tahun 1824 keduanya bersengketa karena Comte yakin Saint-Simon
menghapus namanya dari salah satu sumbangannya, Comte kemudian menyurati
teman-temannya sambil menuduh Saint-Simon bersifat “katastropik” dan melukiskan
Saint-Simon sebagai “penyulap besar”.
Heilbord (1995)
melukiskan Comte sebagai orang yang pendek(sekitar 5 kaki lebih 2 inci), brmata agak
juling dan sangat gelisah dalam pergaulan terutama di tengah lingkungan wanita,
ia juga terasing dari pergaulan masyarakat. Fakta ini membantu menjelaskan
mengapa Comte mengawini Caroline Massin, seorang pelacur miskin. Perkawinan
berlangsung dari 1825 hingga 1841. kegelisahan pribadinya bertolak belakang
dengan keyakinannya yang sangat besar terhadap kapasitas intelektual-nya dan
keyakinan itu seolah-olah mencerminkan kepercayaan diri yang mantap.
Comte terkenal mempunyai
daya ingat yang luar biasa. Berkat daya ingatnya yang seperti fotografi itu ia
mampu menceritakan kembali kata-kata yang tertulis di satu halaman buku yang
hanya sekali saja di baca. Kemampuan berkonsentrasinya sedemikian rupa
sehinggga ia mampu mengungkapkannya keseluruh isi sebuah buku yang akan
ditulisnya tanpa harus menulusnya. Kuliahnya seluruhnya di sajikan tanpa
berbekal catatan. Bila ia duduk untuk menulis buku, ia menuliskan segala yang
ia ingat. Tahun 1826 Comte membuat sebuah catatan-catatan yang kemudian menjadi
bahan kuliah (ceramah) umum sebanyak tujuh puluh dua kali tentang pemikiran
filsafatanya.Ceramahnya itu di lakukan di rumahnya sendiri.Kuliahnya itu
menarik minat kalangan orang terpandang. Tetapi setelah berjalan tiga kali,
kuliah Comte terhenti karena mengalami gangguan syaraf . Sejak saat itu ia
terus terserang gangguan mental dan suatu ketika di tahun 1827 ia mencoba bunuh
diri dengan mencebur ke sungai Saine, untungnya ia selamat. Meski ia tak
mendapatkan jabatan resmi di Ecole Polytecnique, ia di beri jabatan kecil
sebagai asisten dosen pada 1832.
Tahun 1837 ia di beri
pekerjaan tambahan , hak untuk menguji, dan jabatan ini untuk pertama kali yang
memberikannya penghasilannya yang memadai (hingga waktu itu secara ekonomis ia
sering tergantung pada bantuan keluarganya). Selama periode ini Comte
berkonsentrasi menulis 6 jilid buku yang membuatnya sangat terkenal , berjudul
cour de philosophie positif, yang akhirnya di terbitkan secara utuh pada 1842
(jilid pertama telah di terbitkan tahun 1830), dalam karya ini Comte melukiskan
pemikiran filsafatnya bahwa sosiologi adalah ultimate science. Ia pun menyerang
ecole polytechnique dan akibatnya, pada tahun 1844 jabatan asisten dosennya tak
di perpanjang. Sekitar tahun 1851 ia menyelesaikan 5 jilid karyanya yang
berjudul sysiteme de politicqeu positif, yang mengandung pemikiran lebih
praktis dan menawarkan rencana besar untuk mereorganisasi masyarakat.
Heilbron menyatakan bahwa
gangguan mental besar dalam kehidupan Comte terjadi pada tahun 1838, dan itulah
yang membuat kemudian putus asa karena membayangkan ada orang yang secara
serius hendak merampas karyanya tentang ilmu pengetahuan umunya dan sosiologi
khususnya, ini pula yang menyebapkaanya mengalami gangguan otak, yakni Comte
mulai tak membaca karya orang lain. Akibatnya, ia tak dapat mengikuti
perkembangan intelektual terakhir. Baru sesudah tahun 1838 ia mulai membangun
gagasan aneh tentang reformasi sosial yang menemukan pengungkapan dalam Systeme
de politique positive. Comte menghanyalkan dirinya sebagai pendeta agama baru
kemanusiaan. Ia yakin bahwa kehidupan di dunia ini akhirnya dipimpin oleh
pendeta sosiologi (Comte sangat di pengaruhi oleh latar belakang agama
katolik). Yang sangat menarik, meski gagasannya itu keterlaluan, Comte akhirnya
mendpat sejumlah besar pengikut di prancis dan di beberapa negara lain. Comte
meninggal 5 september 1857
Positivisme (Comte)
Istilah positivisme tidak bisa dilepaskan dari Auguste Comte
(1798-1857), karena dialah pengagas
filsafat positivism. Istilah positivisme paling tidak mengacu pada dua hal yaitu teori
perkembangan sejarah akal budi manusia dan teori ilmu pengetahuan positif[6].
Sebagai teori perkembangan sejarah manusia, istilah positivisme identik dengan
tesis Comte sendiri mengenai tahap perkembangan akal budi manusia yang secara
linear bergerak dalam urutan yang tidak terputus. Sebagai teori pengetahuan,
istilah positivisme biasanya didefinisikan sebagai salah satu paham dalam
filsafat Barat yang hanya mengakui dan membatasi pengetahuan yang benar kepada
fakta-fakta positif.
Dalam
dunia intelektual, kedua tesis Comte tersebut sangat berpengaruh hingga saat
ini. Asumsi-asumsi dasar di dalam ilmu pengetahuan modern tampaknya membenarkan
tesis Comte tentang perlunya penggunaaan metode ilmiah, demikian pula
perkembangan kebudayaan dan keberadaan institusi kemasyarakatan dan
pemerintahan seolah membenarkan tesis Comte tentang tibanya zaman positif.
A.5 Teori Perkembangan Akal Budi anusia
Perkembangan
pemikiran (akal budi) manusia oleh Comte berlangsung dalam tiga tahap atau
zaman yaitu zaman teologis, zaman metafisis dan zaman positif atau ilmiah
1.
Tahap teologis
Tahap ini manusia berusaha menerangkan segenap fakta
kejadian dalam kaitannya dengan teka-teki alam yang dianggapnya berupa misteri.
Segala-galanya, termasuk manusia sendiri, diterangkan dalam hubungannya dengan
kekuatan-kekuatan yang sifatnya misterius, tahap ini dijumpai pada manusia awal
atau purba. Alam semesta, dimengerti sebagai keseluruhan integral dan terdiri
dari makhluk-makhluk yang mempunyai kedudukan sebagai sesuatu yang hidup,
bertindak dan berkehendak.
Tahap teologis ini orang mengarahkan rohnya pada
kekuatan gaib sebagai hakikat segala sesuatu. Ada keyakinan bahwa di belakang
setiap kejadian tersirat suatu pernyataan kehendak secara khusus. Pada taraf
pemikiran ini terdapat tiga tahapan, yaitu animism, politeisme dan monoteisme.
a). Tahap animisme,
manusia menghayati alam semesta dalam individualitas atau segala
ssuatu berjiwa. Benda-benda dipahami sebagai sesuatu yang individual dan
singular. Pohon beringin yang tua tidak dipahami sebagai bagian spesies dari
pohon, tetapi sebagai sebuah pohon khas dan sacral yang lain dari pohon
biasanya. Benda-benda lainpun seperti keris mempunyai roh dan kekuatan.
b). Tahap politeisme,
manusia telah menurunkan kelompok-kelompok hal-hal tertentu
seluruhnya masing-masing diturunkan dari sesuatu kekuatan adikodrati yang
melatar belakanginya, sedemikian rupa sehingga setiap kawasan gejala-gejala
memiliki dewa-dewanya sendiri. Jika dalam cara berfikir animism, bahwa sawah
dan lading di setiap desa dihuni oleh roh-roh leluhur, maka cara berfikir
politeisme diyakini bahwa Dewi Sri yang menghuni dan memelihara sawah dan
ladang di semua desa.
c). Tahap monoteisme,
sebagai tahap yang tertinggi, ketika dewa-dewa yang bermacam-macam
tersebut diganti dengan satu tokoh tertinggi atau satu Tuhan.
Cara berfikir seperti ini mempunyai pengaruh besar dalam
kehidupan sosial, budaya dan pemerintahan. Monoteisme memungkinkan
berkembangnya dogma agama, yang selanjutnya dija dikan pedoman hidup
masyarakat, disamping sebagai landasan institusional serta kenegaraan suatu
bangsa dan alat justifikasi para raja (kepala negara) yang berkuasa. Peran
rohaniwan, termasuk para dukun, sangat menentukan dan mereka diyakini mampu
memperantarai komunikasi manusia dengan Tuhan. Raja sebagai pejabat tertinggi
mempunyai legitimasi teologis baik sebagai wakil Tuhan dibumi maupun sebagai
tetesan dewata yang suci
Tahap Metafisis
Semua gejala dan kejadian tidak lagi diterangkan dalam
hubungannya dengan kekuatan yang bersifat supranatural atau rohani. Manusia
kini mulai mencari pengertian dan penerangan yang logis dengan membuat
abstraksi-abstraksi dan konsep-konsep, pengertian-oengertian metafisik. Manusia
pada tahap ini berusaha keras untuk mencari esensi atau hakikat dari segala
sesuatu. Tidak puas hanya dengan mencari pengertian umum tanpa dilandasi oleh
pemikiran dan argumentasi logis. Untuk itu, dogma agama mulai ditinggalkan dan
kemampuan akal budi mulai dikembangkan, irrasional harus disingkirkan dan
analisi pikir yang diperkenalkan.
Tahap metafisis pada prinsipnya hanya merupakan suatu
modifikasi artifisial saja dari tahap teologis, karena sebetulnuya sama-sama
mengembangkan pengetahuan dalam rangka mencari sebab pertama dan tujuan
terakhir dari kehidupan. Perbedaaan metafisis dan teologis terletak pada cara
menerangkan kenyaaan, alam yang semula diasalkan dari dewa atau Tuhan,
dijelaskan dalam konsep-konsep abstrak seperti kodrat, kehendak Tuhan, roh
absolute, kewajiban moral dan lainnya.
2.
Tahap Positif
Pada tahap ini, gejala dan kejadian alam tidak lagi
dijelaskan secara pengandaian a priori, melainkan secara a posteriori
yang berdasarkan observasi, eksprimen dan komparasi yang teliti dan ketat.
Gejala dan kejadian alam harus dibersihkan dari muatan teologis dan
metafisinya. Akal tidak diarahkan untuk mencari kekuatan transenden dibalik
atau hakikat di dalam atas setiap gejala. Akal tidak lagi berorientasi pada
pencarian sebab pertama dan tujuan terakhir dari kehidupan, akal mencoba
mengobservasi gejala dan kejadian secara empiris untuk menemukan hukum-hukum
yang mengatur (yang menjadi sebab akibat yang sudah tertentukan gejala dan
kejadian itu.
Hukum-hukum yang ditemukan nyata dan jelas karena
sumbernya diperoleh secara langsung dari gejala dan kejadian positif, yang
dapat dialami semua orang. Hukum-hukum tersebut bersifat pasti dan dapat
dipertanggungjawabkan dan dapat dibuktikan dengan perangkat metodis yang sama
seperti yang dipakai untuk menemukan hukum tersebut. Hukum-hukum itupun
bersifat praktis dan bermanfaat karena jika hukum-hukum itu diketahui dan
dikuasai, maka kita dapat mengontrol dan memanipulasi gejala dan kejadian
tertentu sebagai sarana mewujudkan masa depan yang lebih baik.
A.6 Teori Pengetahuan
Positif
Tiga tahap perkembangan akal budi manusia diatas juga
berlaku bagi pada bidang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan semula dikuasai
oleh pengertian-pengertian teologis, lalu oleh pemikiran metafisis dan akhirnya
pada zaman posistif.
Ilmu pengetahuan yang diajarkan harus disesuaikan dengan
pembagian kawasan gejala-gejala yang dipelajari ilmu tersebut. Comte membagi
gejala-gejala itu kedalam dua hal, gejala yang terdapat dalam segala yang
anorganis dan gejala yang terdapat dalam segala yang organis. Gejala yang
organis baru dapat dipelajari bila segala anorganis telah dikenal. Ajaran
terhadap gejala anorganis ini dibagi dua bagian yaitu astronomi, yang
mempelajari segala gejala umum dari jagat raya, dan fisika serta kimia, yang
mempelajari anorganis di bumi. Ajaran
terhadap gejala organis juga dibagi dua bagian, yang pertama; proses-proses
yang berlangsung pada individu-individu yaitu biologi dan yang kedua,
proses-proses yang berlangsung dalam jenisnya dalam hidup bermasyarakat yaitu
sosiologi yang selanjutnya comte disebut bapak sosiologi
Mengenai dinamika sosial dalam masyarakat positif, Comte
dengan penuh optimism menguraikan fungsi lain dari pengetahuan positif. Dalam
diri ilmu pengetahuan mengandung alat untuk mencapai baik kemajuan (progress)
maupun ketertiban (order). Comte mengeritik pandangan lawan
intelektualnya yang mempertentangkan keduanya. menurut golongan lain kemajuan
hanya mendatangkan instabilitas, disharmoni, konflik sosial, peperangan dan
anarkisme. Comte melihat kemajuan yang dilandasi ilmu pengetahuan justru
membawa manusia menuju masyarakat yang tertib,stabil, aman dan harmonis.
Ilmu pengetahuan positif membebaskan manusia dari
perasaan terkungkung oleh kekuatan magis akibat pandangan teologis, dan
menjauhkan diri dari kecenderungan purba untuk berperang akibat militerisme dan
feodalisme sisa-sisa pemikiran tahap metafisis.
Dengan perkataan lain, tanpa perlu bantuan dari agama
dan metafisika, ilmu pengetahuan dengan sendirinya membawa moralitas dan
humanismenya sendiri. Ilmu pengetahuan kemampuan untuk mencegah kita dari
keinginan tidak rasional untuk berperang dan melakukan penindasan terhadap
alam dan manusia.
Comte melihat
ilmu pengetahuan positif, yang pada tahap akhir perkembangan akal budi manusia,
menjadi pedoman hidup dan landasan kultural, institusional dan kenegaraan,
untuk menuju suatu masyarakat maju, tertib dan sejahtera. Comte menunjuk pendekatan rasionalisme Descartes dan pada
ilmu pengetahuan alam seperti Galilie, Newton dan Bacon.
Ilmu pengetahuan
positif dibangun atas asumsi-asumsi yang dapat dirumuskan sebagai berikut;
pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat objektif, bebas nilai dan netral.
Objektivitas pengetahuan berlaku pada subjek dan objek. Untuk subjek, ilmuwan
tidak boleh membiarkan dirinya dipengaruhi oleh factor-faktor yang berasal dari
dalam dirinya sendiri, semisal sentiment dan kepentingan pribadi, kepercayaan
dan apa saja yang bisa mempengaruhi objektifitas dari objek yang sedang
diobservasi. Objek pengetahuan yang bersih dari pengaruh subjektif ilmuwan yang
boleh dipaparkan dalam laporan, teori atau hukum ilmiah. Untuk objek, aspek dan
dimensi lain yang tidak bisa diukur di dalam observasi seperti jiwa tidak boleh
ditolerir keberadaanya.
Kedua, ilmu
pengetahuan merupakan pengamatan pada gejala yang selalu berulang, bukan pada
hal yang unik atau yang hanya sekali saja terjadi.
Yang terakhir,
ilmu pengetashuan menangani fenomena alam dari saling ketergantungan dan antar
hubungan dengan fenomena lain, saling berrhubungan satu sama lain membentuk
suatu sistem yang bersifat mekanis. Atau dengan kata lain yang diteliti
pengetahuan adalah relasi-relasi luar seperti sebab akibat. Menurut Comte,
segenap gejala dan kejadian tunduk pada hokum alam, berjalan secara mekanis.
Teori pengetahuan positif sekali lagi mengacu pada
metodologis yang ketat yaitu bersifat objektif, ilmiah dan universal, baik
dalam ilmu pasti maupun ilmu sosial.
B. ANGGAPAN-ANGGAPAN POKOK MENGENAI FILSAFAT ILMU
PENGETAHUAN ABAD KE-20
B.1. Lingkaran wina
Lingkaran
wina atau dalam bahasa jerman wiener kreis adalah suatu kelompok yang terdiri
dari sarjana-sarjana ilmu pastidan alam di Wina ibu kota Australia. Kelompok
ini didirikan oleh moritzschlick pada tahun 1924, namun pertemuan pertemuannyasudah
langsung sejak tahun 1922, dan berlangsung sampai tahun 1938.
Pandangan
yang dikembangkan oleh lingkaran wina disebutNeopositivisme, atau kerap
juga dinamakan positivism logis,ataupun empirisme logis.secara umum mereka
berpendapat bahwa hanya ada satu sumber pengalaman saja, yaitu pengalaman.
Mereka punya minat besar untuk mencari garis batas atau demarkasi antara
pernyataan yang bermakna (meaningful), dan tidak bermakna (meaningless)
berdasarkan kemungkinan untuk diferifikasi.Tugas tunggal yang tertinggal bagi
filsafat ialah memeriksa susunan logis bahasa ilmiah, baik dalam perumusan
penyelidikan ilmu alam, maupun dalam bidang logika dan matematika.
Filsafat
ilmu dalam pandangan positifisme logis
Dalam kerangka pemikiran
semacam itu, filsafat ilmu pengetahuan mereka pandang sematamata sebagai logika
ilmu ( the logic of science ). Sebagai implikasinya, filsafat ilmu harus
disusun berdasarkan analog logika formal.Logila ilmu lebih mengurusi bentuk
logis pernyataan ilmiah. Yang ada dalam pandangan logika ilmu hanyalah kontek
pengujian dan pembenaran ( context of justification ) ilmu pengetahuan
bersangkutan. akibatnya,filsafat ilmu dalam hal ini yang dimaksud ialah logika
ilmu kian jauh dari kenyataan ilmu pengetahuan sebenarnya, karena terlalu sibuk
dengan apa yang terjadi dalam ilmu pengetahuan.
B.2. Tokoh Aliran Abad 20
Karl Raimund Popper Riwayat hidup dan karyanya
Popper
lahir dikota wina pada tahun 1902, ia belajar ilmu alam pada universitas, lalu
menjadi guru SMA, sekaligus ia berminat besar akan filsafat. Pada masa mudanya
ia berkenalan dengan beberapa tokoh lingkaran wina, namun tidak pernah menjadi
anggotanya. Popper mengungsi nkeselandia baru dan mengajar di Christchurch.
Sejak kembali ke Eropa, ia dilondon
dan mengajar disana. Karya dasarnya ialah logik der forschung (1934)
yang diterjemahkan menjadi the logic of scien tific discofery (1959).
Pokok pokok pemikiran Popper
Dasar
logis cara kerja ilmu emppiris
Popper
menentang beberapa gagasan dasar lingkaran wina, pertama ia menentang pembedaan
antara ungjapan yang disebut bermakna (meaningful) dari yang tidak bermakna
(meaningless) berdasarkan kriterium dapat tidak nya dibenarkan secara empiris.
Pembadaan itu digantinya, dengan apa yang disebutnya garis batas. Untuk
mencapai pandangan ini popper menggunakan kebenaran logis yang sebenarnya
sederhana sekali. Dalam perkataan popper sendiri : “dengan opserfasi angsa
putih, betapapun besar jumlahnya,orange tidak dapat sampai kesimpulan nsemua
angsa berwarna putih, tetapi sementara itu cukup satu kali opserfasi terhadap[
seekor angsa hitam untuk menyangkal pemdapat tadi “.
B.3 Filsafat ilmu baru
a. Thomas S Kubn: struktur revolusi ilmiah
Filsafat
ilmu baru ini dimulai dengan terbitnya karya Kuhn the structure of scientific
revolutions. Pada tahun 1970 terbit buku dengan judul yang sama dari Kuhn,
namun sudah dengan sedikit perubahan dan “postscript”. Menurut Kuhn sebaliknya
upaya untuk berguru pada sejarah ilmu harus merupakan titik pangkal segala
penyelidikan.Dengan begitu diharapkan filasafat ilu bisa semakin mendekati
kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah sesungguhnya.
b. Paul Feyerabend ( Pendekatan
anarkitis )
Dalam bukunya against
meathod, ia menyatakan bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan dan perkembangan
dan tidak bisa diterangkan ataupun diatur oleh segala macam aturan dan sistem
maupun hukum. Didalam buku tersebut ia tetap mempertahankan pendapatnya itu
dengan menganalisa beberapa episode sejarah ilmu, yang antara lain Galileo
Galilei.
c.
Imre Lakatos
Pada tahun 1965 lakatos
mengadakan suatu symposium yang mempertemukan gagasan Khun dan Popper. Menurut
latakos, bukan teori tunggal yang harus dinilai sebagai istiah atau tidak ilmiah, melainkan rangkaian teri
teori. Rangkaian teori teori itu sendiri satu sama lain dihubungkan oleh suatu
kontinuitas yang menyatukan teori teori tersebut enjadi progam progam riset.
B.4. Pembaharuan
Epistemologis dalam ilmu ilmu Sosial Historis
a. Institut
penyelidikan social Frankfurt
Kritiki kritik mereka
terarah kepada masyarakat yang merupakan hasil perkembangan ilmu ilmu alam dan
industry mutakhir.Salah satu akibatnya adalah bahwa manusia diasingkan ndari
dirinya sendiri.
b. Perdebatan
Popper dan Adorno sekitar ilmu ilmu sosial
Popper melihat ideology
dan utopi sebagai dua bentuk masyarakat yang membahaykan susunan masyarakat
yang sehat. Adorno yang menekankan bahwa perbandingan dan penerapan itu tidak
mungkin, namun ia kurang memperhatikan yang telah ia kemukakan.
c. Sekitar
adanya kebenaran dalam bidang ilmu ilmu social
Harus
diakui bahwa cara pendekatan pada kebenaran dalam ilu ilmu alam kiranya lebih
berupa pendekatan pada sesuatu yang terdapat diluar si pengenal.
d. Pemikiran
Hermeneotik
Hermeneotika
artinya penafsiran ungkapan ungkapan dan anggapan dari orang lain, khususnya
yang berbeda dalam lingkungan social budaya atau yang berbeda jauh dalam
rentang sejarah. Heidegger yang sudah kita jumpai bersama Hans Georg Gadamer
boleh dianggap sebagai tokoh utama epistomologi sehubungan dengan pokok
hermeneutika. Namun ada baiknya kita menyadari bahwa mereka tidak menyetujui
bahwa epitomologi, yaitu filsafat pengetahuan, dipisahkan dari keseluruhan
filsafat yang mereka kembangkan.
B.5 Zaman
Kontemporer (Abad ke-20 dan seterusnya)
Tema yang menguasai refleksi filosofis dalam abad ke-20 ini adalah
pemikiran tentang bahasa. Sebagian besar pemikir abad ke-20 pernah menulis
tentang bahasa.
Menurut
Wittgenstein, apa yang dihasilkan oleh sebuah karya filsafat melulu sederetan
ungkapan filsafati, melainkan upaya membuat ungkapan-ungkapan menjadi jelas.
Para filsuf analitik ini tidak lain sebagai reaksi atau respons terhadap
aktivitas filsafat yang dilakukan oleh para penganut aliran filsafat idealisme.
sebab aliran filsafat idealisme lebih menekankan pada upaya mengintrodusir
ungkapan-ungkapan filsafat. Ungkapan-ungkapan filsafati yang di introdusir oleh
penganut idealisme itu menurut filsuf analitik kebanyakan bermakna ganda kubur
dan tidak terpahami oleh akal sehat. Hal-hal semacam itulah yang perlu diatasi
dengan analisis bahasa. Perkembangan filsafat abad ke-20 juga ditandai oleh
munculnya berbagai aliran filsafat kebanyakan aliran itu merupakan kelanjutan
dari aliran-aliran filsafat yang telah berkembang pada abad modern.
Beberapa aliran dan tokoh yang paling berpengaruh pada abad ke-20 adalah
Edmund Husserl (1859-1938), selaku pendiri aliran Fenomenologi, ia telah
mempengaruhi pemikiran filsafat abad ke-20 ini secara amat mendalam.
Eksistensialisme dan fenomenologi merupakan dua gerakan yang sangat erat
dan menunjukkan pemberontakan tambahan terhadap metode-metode dan
pandangan-pandangan barat. Terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara para
pengikut aliran ini namun terdapat tema-tema yang sama sebagai cirri khas
aliran ini yang tampak pada para penganutnya. Mengidentifikasi ciri aliran
eksistensialisme sebagai berikut :
1.
Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan
masyarakat modern, khususnya terhadap idealism Hegel.
2.
Eksistensialisme adalah suatu protes atas nama individualis terhadap
konsep-konsep, filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkret.
3.
Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal
(tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan
masa. Masyarakat industry cenderung untuk menundukkan orang seorang kepada
mesin.
4.
Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter baik
gerakan pasis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan
perorangan didalam kolektif atau masa.
5. Eksistensialisme menekankan situasi
manusia dan prospek manusia didunia.
6. Eksistensialisme menekankan keunikan
dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman
kesadaran yang dalam dan langsung.
Salah seorang tokoh eksistensialisme yang popular
adalah Jean Paul Sartre (1905-1980) ia membedakan dialektis dengan rasio
analitis.
Aliran filsafat eksistensialisme yang menjadi mode berfilsafat pada
pertangahan abad ke-20 mendapat reaksi aliran strukturalisme. Jika
eksistensialisme menekankan pada peranan pada individu, maka strukturalisme
justru melihat manusia “terkukung” dalam berbagai struktur dalam kehidupannya.
Secara garis besar ada dua pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan strukturalisme
sebagai aliran filsafat.
Pertama, strukturalisme adalah metode atau metodelogi
yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak
dari prinsip-prinsip linguistic yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure,
Kedua, strukturalisme merupakan aliran
filsafat yang hendak memahami masalah yang muncul dalam sejarah filsafat.
Disini metodelogi struktural dipakai untuk membahas tentang manusia, sejarah
kebudayaan, serta hubungan antara kebudayaan dan alam.
Para strukturalis filosofis yang menerapkan
prinsip-prinsip strukturalisme linguistic dalam berfilsafat bereaksi terhadap
aliran filsafat fenomenologi dan eksistensialisme yang melihat manusia dari
sudut pandang yang subjektif. Para penganut aliran filsafat strukturalisme ini
memiliki kesamaan.
Tokoh
berpengaruh dalam aliran filsafat struktulisme adalah Michel Foucault
(1926-1984) Kesudahan ‘manusia’ sudah dekat itulah pendirian Foucalt yang sudah
terkenal tentang ‘kematian’ manusia. Maksud Foucault bukanya bahwa nanti tidak
ada manusia lagi, melainkan bahwa akan hilang konsep ‘manusia’ sebagai suatu
kategori istimewa dalam pemikiran
kita.
Pada abad ke-20 ada aliran filsafat yang pengaruhnya dalam dunia praktis
cukup besar, yaitu aliran filsafat pragmatisme. Aliran filsafat ini merupakan
suatu sikap metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat praktis dari pikiran
dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai
kebenaran.
Salah seorang tokoh pragmatisme adalah Willam Jasme (1842-1910),ia
memandang pemikirannya sendiri sebagai kelanjutan empirisme Inggris, namun
empirismenya bukan merupakan upaya untuk menyusun kenyataan berdasar atas
fakta-fakta lepas sebagai hasil pengamatan. James membedakan dua macam bentuk
pengetahuan :
1) Pengetahuan yang
langsung diperoleh dengan jalan pengamatan.
2) Merupakan
pengetahuan tidak langsung yang diperoleh dengan melalui pengertian.
Suatu ide dapat menjadi benar apabila didukung oleh peristiwa-peristiwa
sebagai akibat atau buah dari ide itu.
Pada awalnya postmodernisme lahir sebagai reaksi terhadap kegagalan
modernism. Dalam modernisme, filsafat memang berpusat pada Epistemologi yang
bersandar pada gagasan tentang subjektivitas dan objektivitas murni yang satu
sama lain terpisah tak saling berkaitan. Tugas pokok filsafat adalah mencari
fondasi segala pengetahuan dan tugas pokok subjek adalah mempresentasikan
kenyataan objektif.
Wacana postmodern menjadi popular setelah Francois Lyotard (1924) menerbitkan
bukunya The Postmodern Condition : A Report on Knowledge (1979).
Modernitas menurut Lyotard ditandai oleh kisah-kisah besar yang mempunyai
fungsi mengarahkan serta menjiwai masyarakat modern, mirip dengan mitos-mitos
yang mendasari masyarakat masyarakat primitif dulu.
Perkembangan ilmu pengetahuan empiris khususnya ilmu-ilmu pengetahuan alam,
selama abad-abad terakhir dilatarbelangi anggapan-anggapan tentang ilmu
pengetahuan masa Yunani Kuno. Salah seorang yang yang palingmenentukan di masa
itu adalah Aristoteles. Dia membedakan pengetahuan teoritis dan praktis serta
budaya yang menuntun manusia dalam kehidupannya agar berlangsung dengan baik,
sesuai dengan patokan-etika dengan martabat dan manusianya.
Dalam masa modern terbitlah pandangan baru tentang ilmu pengetahuan yang
dipelopori oleh Bacon yang menganggap bahwa pengetahuan adalah kekuatan
“Knowledge is power”. Sebagai akibatnya, ilmu pengetahuan alam selama masa
modern sangat mempengaruhi dan mengubah manusia dan dunianya yang ditandai
dengan revolusi industri.
Dampak paling menyolok akibat kemajuan ilmu pengaetahuan alam dan teknologi
modern ialah terhadap lingkungan hidup yang dapat dengan mudah kita amati di
sekitar tempat hunian kita sendiri, ataupun lewat media masa, ilmu pengetahuan
dan teknologi mau tak mau punya kaitan langsung atau tak langsung dengan
struktur sosial, budaya dan politik, kemiskinan kelaparan dan ketimpangan
lainnya yang justru menjadi pemandangan menyolok ditengah keyakinan manusia
akan keampuhan teknologi untuk menghapus penderitaan manusia.
Demikian
dengan kelahiran filsafat modern yang dirintis sejak renaissance dan
aufklaerung merupakan reaksi terhadap pemikiran filsafat abad pertengahan yang
bersifat teologis dogmatis. Gereja sebagai institusi pada waktu menjadi
satu-satunya menjadi otoritas yang mengakui kebenaran dan keabsahan pemikiran
filsafat dan ilmu pengetahuan. Padahal perkembangan ilmu pengetahuan diluar
kontrol gereja sudah berjalan sangat pesat, terutama bidang astronomi. Sehingga
upaya mengontrol perkembangan ilmu pengetahuan kedalam sekat-sekat agama
mengalami kegagalan. Terjadilah serkularisasi ilmu, yakni pemisahan antara
aktifitas ilmiah dengan aktifitas keagamaan.
Pada
abad ke-20 postmodernisme juga sebagai reaksi terhadap pemikiran
modern yang juga telah berubah menjadi mitos baru. Filsafat modern yang lahir
sebagai reaksi terhadap dogmatis abad pertengahan, menurut kaum postmodermis
telah terjebak dalam membangun mitos-mitos baru. Mitos-mitos itu ialah suatu
keyakinan bahwa dengan pemikiran filsafat, ilmu pengetahuan dan aplikasinya
dalam teknologi, segala persoalan kemanusiaan dapat diselesaikan. Padahal
kenyataannya banyak agenda kemanusiaan yang masih membutuhkan
pemikiran-pemikiran baru.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Idealisme, yang puncaknya berada pada diri Hegel (1770-1831) memperkenalkan
beberapa hal, terutama tentang dialektika: tesa, antitesa dan sintesa. Menurut Hegel,
sintesa yang mutlak antara subyek dan obyek bukanlah hal yang terbatas yang
telah menjadi tidak terbatas, melainkan suatu “keberadaan” dalam “ketiadaan”,
suatu “menjadi” di dalam “yang mutlak”.
Juga tentang teori Perkembangan Roh (idea) dalam filsafat Hegel
dibagi dalam tiga tahap yaitu logika, filsafat Alam dan filsafat Roh
2. Positivisme yang dikenalkan
August Comte (1798-1857) memperkenalkan dua konsep yaitu
teori perkembangan sejarah akal budi manusia dan teori ilmu pengetahuan
positif.
Teori pertama, perkembangan pemikiran
(akal budi) manusia oleh Comte berlangsung dalam tiga tahap atau zaman yaitu zaman teologis, zaman metafisis
dan zaman positif atau ilmiah
a.
Tahap teologis, ialah tingkat
pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia ini mempunyai jiwa dan hal itu
disebabkan oleh sesuatu kekuatan yang berada di atas manusia.
b.
Tahap metafisis, manusia pada
tahap ini masih percaya bahwa gejala-gejala di dunia ini disebabklan oleh
kekuatan-kekuatan yang berada di atas manusia.
c.
Tahap positif, tahap dimana
manusia telah sanggup berfikir secara ilmiah
Teori kedua, ilmu pengetahuan positif. Ilmu
pengetahuan bertujuan mencari sebab
serta akibat dan gejala-gejala yang berdasaerkan observasi, eksprimen dan data
ilmiah serta fakta yang nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal, Filsafat
Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat,
cet II, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2002
Canfora dan
Froeb, Biografi Hegel (Internet, WWW. Biografi Hegel)
Delfgaauw,
Bernard Dr. Filsafat Abad 20, terjemah Soejono Soemargono, cet II,
Yogyakarta, Tiara Wacana 2001
Dodi Adi Nata’e,
Internet WWW. Biografi Comte
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah filsafat Barat, cet.10 Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1994
M. Henslin,
James Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, terjemah Kamanto Sunarto,
Cet. 10; edisi 6, Jilid 1, Jakarta;
Erlangga : 2007
Muntansir, Rizal
dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu cet. VIII; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008
Salam , Burhanuddin, Pengantar Filsafat, Cet V;
Jakarta: Bumi Aksara, 2003
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Sebuah Pengantar
Cet. 34; Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002
Sudarsono, Ilmu Filsafat; Suatu Pengantar, Cet
II; Jakarta ; Rineka Cipta, 2008
Paul Johnson, Doyle,Teori Sosiologi Klasik dan
Modern, terjemahan Robert MZ Lawang Jilid I; Jakarta; PT. Gramedia, 1986
Poedjawijatna, Prof I. R, Pembimbing Ke Arah alam
Filsafat Cet. VIII, Jakarta; PT
Rineka Cipta, 1990
Tidak ada komentar:
Posting Komentar